Kamis, 15 Oktober 2015

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) DAN AFTA 2015, BERKAH ATAU BENCANA?


Asean Free Trade Area (AFTA) 2015 dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah di depan mata. Banyak peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia menjelang AFTA dan MEA. Era perdagangan kawasan ASEAN (AFTA) yang bakal berlangsung mulai 2015, menjadi tantangan serius bagi perusahaan dalam mengoptimalisasi sumber daya, kinerja, sistem manajemen, dan teknologi informasi. Para pemimpin negara-negara ASEAN telah sepakat untuk mentransformasi wilayah ASEAN menjadi kawasan bebas aliran barang, jasa, investasi, permodalan, dan tenaga kerja.
MEA menggambarkan adanya perekonomian yang mengglobal di antara negara-negara ASEAN dan MEA dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing ekonomi di kawasan regional ASEAN. Sedangkan AFTA, sejatinya merupakan kesepakatan diantara negara-negara ASEAN untuk membentuk kawasan bebas perdagangan. Tujuan utamanya untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan bisnis ASEAN di kancah dunia. Harapannya, jika AFTA sukses, negara-negara ASEAN bisa menjadi basis produksi dunia, seperti Cina. Coba cek koleksi barang elektronik anda di rumah. Berapa banyak yang berlabel ‘Made in China’?
Dengan adanya kebijakan perdagangan bebas AFTA ini, nantinya tidak akan ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%), ataupun hambatan non-tarif untuk negara anggota ASEAN. Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Dengan adanya kebijakan-kebijakan terkait AFTA, tentu akan menyusul tantangan serta peluang yang akan dihadapi negara Indonesia, khususnya di sisi bisnis dan ekonomi. Pertanyaannya, siapkah kita?

Tantangan AFTA 2015 Bagi Indonesia
Sebelum membahas mengenai keuntungan, ada baiknya terlebih dahulu kita melihat tantangan yang ada, agar dapat mempersiapkan diri. Baik secara langsung ataupun tidak langsung, tantangan-tantangan ini akan memberikan dampak khusus kepada pertumbuhan bisnis dan ekonomi Indonesia. Dengan mengetahuinya, kita akan mampu menentukan sikap dan melakukan persiapan.

Tantangan Inovasi Teknologi
AFTA menjadi tantangan serius bagi perusahaan dalam mengoptimalisasi teknologi informasi. Hal senada diungkapkan Presiden Direktur IBM Indonesia, Gunawan Susanto, Juni lalu. Salah satu tantangan yang sudah menanti dalam AFTA, kata Gunawan, yakni masuknya perusahaan teknologi dunia yang menyerang pasar di Indonesia. Untuk itu, perusahaan Indonesia harus mewaspadai. “Perusahaan asing sudah mulai bikin warehouse di sini, produk e-commerce mereka juga sudah masuk, ini akan jadi ancaman bagi perusahaan kita,” ujar dia. Gunawan mencontohkan datangnya aplikasi Uber, yang mulai mengusik pengusaha dan sopir taksi.  Hal itu, merupakan contoh nyata tantangan.
“Sekarang tren bisnis makin personal dan mobile. Perusahaan jualan produk sudah sangat personal dengan analitik sosial, untuk itu perusahaan harus bergerak. Jangan nunggu nanti, karena AFTA sudah tinggal tahun depan,” jelasnya.
Tantangan tersebut makin intens karena tidak sedikit perusahaan di Indonesia yang telah menyadari pentingnya inovasi dalam teknologi dan informasi. Menurutnya, tren inovasi perangkat mobile, jejaring sosial, analitik data, dan komputasi awan menjadi tantangan perusahaan dalam era perdagangan AFTA. “Perusahaan Indonesia sudah mulai memikirkan ke arah AFTA 2015. Beberapa level kepala bidang sebuah perusahaan sadar akan kunci inovasi teknologi,” jelas Gunawan. Ia menyatakan, selama beberapa bulan berdialog dengan beberapa pengambil keputusan di banyak perusahaan, mereka sudah mulai mengeksplorasi infrastruktur teknologi. “Saya cukup terkejut, saat beberapa kepala komersil perusahaan mulai bertanya soal SaaS (software as a service) dan komputasi awan,” ungkapnya. Fakta tersebut menunjukkan makin luasnya kesadaran perusahaan akan pentingnya infrastruktur teknologi bagi peningkatan kinerja perusahaan.
Gunawan melihat, cara pandang perusahaan atas tantangan teknologi tidak jauh berbeda dengan gambaran perusahaan di tingkatan global. Menurut studi yang dilakukan IBM, tujuh dari 10 perusahaan yang disurvei memahami infrastruktur IT punya peranan penting dalam kompetisi atau mengoptimalisasi keuntungan dan pendapatan. Dari kebanyakan responden, 62 persen perusahaan sudah berencana meningkatkan belanja infrastruktur IT untuk 12 hingga 18 bulan ke depan.

Tantangan Perdagangan
Bukan rahasia umum bahwa Indonesia masih berpredikat sebagai negara pengimpor, alih-alih pengekspor. Mengapa Indonesia sampai saat ini masih sebatas sebagai pasar bagi produk dari negara-negara ASEAN yang lain?
Pertama, karena penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah 231,3 juta jiwa merupakan 39% dari total penduduk ASEAN. Kelas menengah Indonesia saat ini juga berjumlah sekitar 100 juta orang. Tentu ini merupakan pasar yang menggiurkan bagi negara-negara ASEAN lain.
Kedua, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang saat ini sebesar 846 miliar dolar AS juga merupakan 40,3% PDB total negara-negara ASEAN. Ini juga merupakan indikasi pasar potensial yang terbesar.
Ketiga, masyarakat kelas menengah dan atas Indonesia sudah terkenal sebagai masyarakat yang konsumtif. Ini terlihat misalnya orang Indonesia rata-rata memiliki lebih dari satu smartphone atau tablet. Berbeda misalnya dengan masyarakat Jepang yang terkenal dengan sifat hematnya. Indikasi yang jelas dari Indonesia sebagai pasar saja adalah selalu defisitnya neraca perdagangan internasional Indonesia dengan negara-negara ASEAN sejak tahun 2005.
Sebetulnya, pekerjaan rumah bagi para pengusaha di Indonesia adalah bagaimana memenangkan preferensi pasar atas produk asli Indonesia, baik pasar domestik, ASEAN, maupun internasional. Pengusaha dan produsen Indonesia dituntut terus menerus dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara efektif dan maksimal. Disinilah kualitas produk Indonesia diuji, dan perusahaan Indonesia harus bisa mengubah pola pikir dari “product oriented” menjadi “customer oriented” untuk memenangkan preferensi pasar.
Hal senada diutarakan Profesor Rika Fatimah, Ph.D., dari Universitas Kebangsaan Malaysia, yang menyoroti pentingnya mengembangkan pola pikir berwawasan MEA dan kesiapan kewirausahaan melalui social business. Rika mengatakan, “Ada 4 MEA mindset yang harus dikembangkan, yaitu: stakeholders, kesiapan menghadapi MEA 2015, kesiapan sumberdaya manusia, serta ketahanan dalam menjalankan kewirausahaan, di mana keempat faktor tersebut akan menopang social business yang merupakan salah satu model untuk mendukung kegiatan kewirausahaan.” Namun bukan berarti Indonesia tinggal diam. Menurut Associate Profesor Ruhul Salim, Ph.D. dari Curtin Business School, Australia, Indonesia menempati posisi penting di MEA sebagai produsen otomotif terbesar kedua di ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perusahaan Jepang dan Korea yang memproduksi kendaraan di Indonesia. Bahkan, perusahaan ternama General Motors mulai memproduksi kendaraan di Indonesia sejak 2013. Namun investasi semacam ini juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan infrastruktur yang baik.
“Pada masa krisis ekonomi global 2009, sektor otomotif Indonesia nyaris tidak tersentuh oleh efek krisis tersebut. Kemudian jika Indonesia ingin memimpin pasar ASEAN apa yang harus dilakukan? Hal ini tergantung pemerintah. Pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung implementasi AFTA dan MEA,” jelas Ruhul.
Apa yang Dapat Dilakukan?
Indonesia punya keuntungan demografi, geografi, dan lainnya dan banyak sekali komiditi yang bisa diandalkan dan dipersiapkan untuk bersaing dalam AFTA. Bonus demografi adalah arti struktur penduduk Indonesia dari sisi usia adalah Piramida Penduduk Muda, Hal ini menunjukkan usia penduduk muda lebih banyak dari pada penduduk dewasa, jumlah penduduk bertambah dengan cepat.
Berdasarkan sensus tahun 2010 0leh BPS pusat, didapatkan piramida di atas, dengan ringkas piramida penduduk Indonesia adalah :
1.    0-14 laki-laki 34.276.146 / wanita 33.094.836 (27,73%) atau 1,98% per 1 tahun usia
2.    15-64 laki-laki 80.806.409 / wanita 80.065.855 (66,21%) atau 1,35% per 1 tahun usia
3.    65 keatas laki-laki 6.504.559 / wanita 8.220.537 (6,06%)
Total    laki-laki 121.587.114 / Wanita   121.381.228 (100,00%)
Persentase usia yang masih bisa produktif adalah sebesar 66,21% dan per satu tahun usia pada usia muda adalah 1,98% lebih besar dari 1,35% pada usia produktif. Perusahaan dapat memanfaatkan keuntungan demografis ini dengan mengembangkan kualitas sumber dayanya, mengiringi kuantitasnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan pendidikan akan memberikan angkatan kerja yang produktif dan mampu menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi. Selain pendidikan dan pelatihan, komitmen karyawan bagi perusahaan juga sangat penting. Jangan sampai SDM yang memiliki potensi dan bakat lebih memilih untuk bekerja di perusahaan asing karena merasa di perusahaan asing mereka bisa bekerja lebih nyaman dan terjamin. Hal ini disampaikan Setyabudi Indartono, Ph.D. yang merupakan pakar di bidang sumber daya manusia. Beliau mengatakan, “Perlakuan yang berbeda terhadap karyawan akan mempengaruhi perilaku dan kinerja mereka terhadap organisasi. Di samping itu perlu juga diperhatikan cara organisasi dalam mengatur sumber daya manusia agar karyawan memiliki komitmen terhadap organisasinya.”
Optimasi di bidang sumber daya dan kualitas produk akan secara signifikan meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara penghasil produk, yang mampu menyediakan produk berkualitas bagi negara-negara di lingkup ASEAN maupun global. Dengan memaksimalkan potensi penyerapan produk Indonesia, kita akan bisa merasakan AFTA sebagai sebuah win-win solution bagi kemajuan perekonomian Indonesia dan ASEAN.***RW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar