Cahaya di Balik
Gelapnya Indra.
“Aku
mengerti”
Aku terdiam. Kalimat itu menusuk
hatiku dalam. Aku menatap Denada ragu. Ia tersenyum. Dan senyum itulah yang
membuatku semakin merasa bersalah. “Aku sama sekali tak bermaksud apa-apa, Nad!
Aku hanya ing...”
“Aku tahu, Valda! Untuk itu kau tak
perlu cemas. Inilah takdir. Dan ini bukan salahmu” senyum Denada tergambar
indah di wajah jelitanya.
Sekali lagi aku menatap Denada.
Senyumnya pun terlukis pudar. Meski ia telah memaafkanku, namun tetap saja rasa
bersalah itu merayap bebas di dinding hatiku.
“Kalau
begitu, aku pergi dulu. Minggu depan akan diadakan launching untuk film pertamaku. Aku jadi harus banyak latihan.
Maafkan aku, ya?”
Denada membalasku dengan senyumnya
yang khas. Entah mengapa aku merasa amat sangat bersalah. Bukan karena aku
penyebab semua ini. Namun, perilakuku terhadapnya selama ini begitu kejam.
Lebih kejam dari ibu tiri yang menyiksa anaknya. Maafkan aku, Nad!
“Salamku untuk Kak Alfan. Kemarin ia
telah banyak membantuku. Ucapkan terima kasih dariku! Kau tak keberatan kan, Valda?”
Aku terbuyar. Menatapnya lembut, dan
kupolesi dengan sedikit senyuman hangat. Munafik!
“Tentu, Nada sayang! Apapun akan
kulakukan untukmu! Aku berangkat, katakan pada Ibu aku pulang agak sore!” aku
pun melangkah menjauhi Denada yang mengantarku sampai halaman depan.
Aku melihat cahaya di balik gelapnya
indra.
“Sudah siap semua?”
“Scene 11 take 1”
“Action!”
“Sebentar!”
“Cut!
Ada apa, Valda?” Kak Alfan, sang sutradara menatapku cemas. Tatapan yang membuatku
segera menundukkan wajah merahku. “Bajunya terlalu sempit! Aku tak bisa leluasa
bergerak”
“Kostum! Cari baju yang pas! Kita
sudah menghabiskan dua jam untuk pengambilan gambar hari ini!” wajah tegasnya
terlihat kesal.
Sebenarnya aku tak terlalu merasakan
sempit dengan baju yang kupakai. Hanya saja aku merasa resah. Bayangkan! Aku
baru saja sampai di lokasi syuting, Kak Alfan sudah menanyakan kabar Denada.
Bahkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan membosankan untuk dijawab. Semuanya
hanya tentang satu orang. Siapa lagi kalau bukan D-E-N-A-D-A. Jujur saja, aku
bosan!
“Sudah dapat gambarnya?”
“Pemandangan sisi kiri cukup untuk
menutupi cahaya matahari yang terlalu menyengat. Coba kau take sedikit dari arah kanan!”
Aku kembali menatap Kak Alfan.
Mengapa ia menyukai kembaranku? Bukankah dia –maaf- buta? Bahkan ia tak bisa
berjalan!
Oke. Kuakui bahwa Denada jauh lebih
cantik dariku. Namun hal apa yang membuat Ayah, Ibu bahkan Kak Alfan
menyayanginya? Belum lagi aku juga menyukai...
“Val, kudengar kau kembar?”
Aku menoleh. Kirana! Perancang
kostumku, “Kembar? Memangnya terlihat seperti itu?”
Inilah aku. Aku yang munafik di
hadapan kembaranku sendiri. Aku yang selalu berusaha menghapus keberadaan
Denada dalam hidupku. Karena aku malu! Aku malu mengakui Denada yang... kurang!
Apa kata teman-teman nanti kalau mereka tahu, model terkenal memiliki kembaran
yang... cacat?
Mungkin yang tahu kehidupanku dengan
Denada hanya beberapa orang saja. Sahabat-sahabat kelasku pun tak ada yang
mengetahui hal ini. Rio, ketua OSIS yang kata orang-orang menyukaiku pun tak
tahu. Untung saja ia tak tahu!
Kak Alfan memang tahu. Karena ia
anak sahabat kantor Ayah. Aku pun mengenal Kak Alfan dari Ayah. Dan Kak Alfan
yang memintaku untuk menjadi pemeran utama di film terbarunya. Sebenarnya, Kak
Alfan memilih Denada. Namun karena ia mengetahui bahwa Denada seperti itu, ia
pun memanggilku. Sangat menyesakkan! Aku menjadi subtitusi!
Aku membenci mereka yang selalu
membela Denada! Dan sangat membenci Denada yang selalu menjadi bahan pujian.
Bukankah aku yang seharusnya dipuji? Bukankah aku memiliki segudang bakat?
Bukankah aku yang lebih sempurna?
Menyesakkan!
“Sampai kapan kau akan berpura-pura
dengan kehidupanmu?”
Aku terhenti. Sedikit menoleh
kebelakang, “Memangnya kenapa? Kau tak ada urusan dengan hal ini!”
“Aku sahabat kecilmu, Val! Sahabat
kecil Denada pula. Mungkin kini kau tak menganggapku sahabat lagi. Bukankah
sekarang kau tumbuh menjadi bintang sekolah, Devalda Clarissa?”
Aku mendesah. Kulirik Ghina sinis.
Persahabatanku dengannya memang sedikit renggang akhir-akhir ini. Ghina yang
begitu pendiam di sekolah. Bahkan ia... sedikit kurang pergaulan! Bukannya aku
tak ingin lagi berteman dengannya. Namun reputasiku akan jatuh kalau berangkat
sekolah dengannya lagi. Ini bukan masa Sekolah Dasar!
“Malam ini kau akan datang?”
“Aku harus istirahat! Besok launching filmku”
“Kau harus datang! Bukankah Denada
ingin sekali datang ke acara itu bersamamu?”
“Apa hubungannya?”
“Malam Reuni dan Panggung Seni
sekolah kita dihadiri ratusan orang penting. Ada hal yang perlu kau pahami.
Kalau kau ingin istirahat, itu hakmu! Namun kau menyesal jika tak hadir malam
nanti!”
“Apa
maumu?” akhirnya kalimat ketus itu kulontarkan.
“Kau sungguh kejam! Ia hanya ingin
berjalan-jalan bersamamu! Kau bersikap baik di depan Denada padahal kau
menjelek-jelekkannya di depan orang lain. Bahkan kau tak mengakui keb...”
“Bukan urusanmu!” potongku dan
segera berlalu.
Ini yang membuatku amat sangat
kesal. Mengapa mereka selalu saja membela Denada? Sudahlah! Aku lelah membahas
hal ini.
Aku pun memasuki pekarangan rumah.
Dapat kulihat Denada terduduk di kursi rodanya dan menatap kosong ke arah
lebatnya bunga anggrek. Tepatnya bukan menatap, namun mengarah.
“Kau lelah, Val?”
Aku menghentikan langkahku, “Mengapa
kau tahu?”
“Kita kan kembar! Aku dapat merasakan apa yang kau rasakan. Bukankah kau
juga seperti itu?”
Deg!
Sama sekali tak terpikir olehku. Mengapa aku tak bisa merasakan yang ia
rasakan? Dipuji banyak orang karena ia baik, cantik, cerdas dan lembut. Aku tak
merasakan hal itu!
“Sudah kau sampaikan salamku?”
“Engg...
sudah! Kak Alfan sangat senang bila kau juga senang!” Hueekkk! Menyebalkan sekali harus mengatakan hal yang sangat
kubenci. Tepatnya iri!
“Terima kasih! Kau memang sangat
perhatian padaku. Aku menyayangimu, Valda! Sangat menyayangimu. Andai saja aku
bisa melihat rupa kita yang kembar, mungkin aku akan selalu tertawa geli
menyadari kesamaan wajah kita. Wajahmu banyak terpajang di majalah-majalah
remaja. Maaf, aku tak bisa mengucapkan selamat sepenuh hati. Aku tak bisa
melihatnya” Denada menyentuh pipiku. Aku memeluknya erat.
“Andai saja kita terlahir sesempurna
kembaran lainnya, kita pasti akan hidup bahagia bersama. Aku juga menyayangimu,
Nad!” Bohong! Bukankah kalau Denada
sempurna, aku tak ada apa-apanya?
“Kapan akan launching film?” Denada melepaskan pelukanku.
“Besok, Nad”
“Aku pasti hadir! Aku akan memberimu
dukungan”
Apa?
Denada akan datang? Tidak! Bisa-bisa aku dicemooh banyak artis. Belum lagi aku
ini pendatang baru. Public akan
menyorot bagian ini. Tidak! Aku tak ingin hal ini terjadi! Maaf, Nad!
“Ada apa, Val?”
“Tak apa. Aku hanya terharu kau
bersusah payah mendukungku. Bukankah kau harus banyak beristirahat?”
“Aku bahagia jika kau bahagia”
Kini aku terdiam. Lagi-lagi aku
melihat cahaya itu.
Malam Reuni dan Panggung Seni.
Dengan
terpaksa, aku datang...
“Untuk
dia sangat saya cintai. Kau segalanya untukku...”
Tuts piano dimainkannya. Alunan
irama klasik mozart mengayun indah. Berotasi dengan sempurna di pikiranku. Dapat
kulihat perempuan cantik dengan gaun merah muda yang menyelimuti tubuhnya. Jemarinya
bermain lincah di atas papan piano klasik berwarna putih. Kristal kecil
menghiasi rambutnya yang dibiarkan terurai. Sangat cantik. Namun...
Oh Tuhan! Dia...
“Aku
tahu kutakkan bisa... menjadi s’perti yang engkau minta... namun selama...
nafas berhembus, aku kan mencoba...”
Deg!
Lagu itu seakan menghentikan detakan
jantungku. Membekukan aliran darahku. Meruntuhkan hatiku yang membatu.
Menyumbat kuat hembusan nafasku. Perempuan itu mencekamku lembut. “De-na-da?”
Perempuan cantik itu terus
bernyanyi. Senyumnya tak pudar. Sepertinya ia mengerti keadaanku. Seakan
mengatakan padaku bahwa ia...
“Kau terkejut?”
Kalimat itu melelehkan
butiran-butiran yang sejak tadi mengembun di sekitar mataku.
“Kau tak pernah mempedulikan Denada.
Kau hanya berpikir Denada adalah perempuan yang tak berguna dan memalukan! Bahkan
kau merasa malu dan menyesal bersaudara dengannya! Sekarang kau lihat? Ia
menyanyangimu lebih dari menyanyangi dirinya sendiri!” Ghina menatapku tajam.
Aku menyeka cairan bening yang membanjir.
“Ia melakukan ini untukmu. Ia
berlatih setiap malam, hanya untuk mempersembahkan kemampuannya kepadamu. Agar
kau mengakuinya dalam kehidupanmu, bahwa ia adalah kembaranmu”
Aku tersentak. Apa Denada tahu
bahwa...
Aku menatap Denada pelan, ia tetap
tersenyum. Jemarinya tak berhenti bergerak. Senyum tulus Denada membuatku
tertunduk. Seakan ia tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Setelah ini, apa yang akan kau
lakukan, Devalda?”
Aku sama sekali bingung. Pertanyaan
itu hanya dapat kubalas dengan tatapan sesal. Kaku untuk tersenyum. Karena hati
ini terlanjur pecah. Kokohnya dinding angkuh itu akhirnya runtuh juga.
Semestinya
aku bersyukur. Kesempurnaan yang telah Dia anugerahkan membuatku merasa
memiliki segalanya. Seharusnya kubuka mataku sejak dulu. Melihat kemampuan
Denada yang tak pernah kubayangkan. Dalam kekurangannya ia berusaha dan mampu
membuat semua orang kagum. Mengapa dulu aku tak membantunya? Aku tahu, ia
terpukul. Bahkan aku hadir membungkam keberadaannya. Menghempasnya jauh seakan
ia tak hidup. Aku memang hanya melihat kesempurnaan. Padahal di dunia ini tak
ada yang sempurna!
Aku telah menggoreskan
ribuan sayatan tajam di permukaan hatimu. Maafkan aku, Denada!
Kata maaf kali ini, benar-benar dari
nuraniku yang sempat menghitam.
Kini aku melihat kembali cahaya itu.
Aku menyayangimu, Denada-ku...