Jumat, 25 Januari 2013





Yahoo! Inc. merupakan sebuah perusahaan publik Amerika dengan kantor pusat di Sunnyvale, California (tepatnya di Silicon Valley), yang menyediakan layanan internet secara global, meliputi seluruh dunia. Perusahaan ini terkenal akan portal web, mesin pencari (Yahoo! Search), Yahoo! Directory, Yahoo! Mail, Yahoo! News, iklan, pemetaan online (Yahoo! Maps), Yahoo! Video, dan website media sosial dan jasa.
Yahoo dirintis oleh Jerry Yang dan David Filo pada bulan Januari 1994 dan diresmikan sebagai badan hukum pada tanggal 1 Maret 1995. Pada tanggal 13 Januari 2009, Yahoo mengangkat Carol Bartz, mantan kepala eksekutif Autodesk, sebagai kepala eksekutif dan anggota dewan direksi Yahoo yang baru.
== Sejarah Yahoo ==Teks miring Yahoo! pada awalnya hanyalah semacam bookmark (petunjuk halaman buku), ide itu berawal pada bulan April 1994, saat itu dua orang alumni Universitas Stanford mendapat liburan ketika profesor mereka pergi ke luar kota karena cuti besar. Dua mahasiswa teknik tersebut hanya mempunyai sedikit pekerjaan yang harus dilakukan selain menjelajah internet. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk mengkompilasi sebuah daftar bookmark yang besar, yang dikelompokkan berdasarkan subyek. Kemudian mereka berpikir untuk memasukannya di web, dan mulai bekerja membuat sebuah program database untuk menanganinya sehingga dapat memberikan hasil secara online.
Pada bulan April 1994 tersebut, bookmark yang tadinya diberi nama “Jerry and David’s Guide to World Wide Web” diganti menjadi Yahoo!, yang mana berasal dari kata “Yet Another Hierarchical Officious Oracle”. Filo dan Yang memilih kata tersbeut karena mereka menyukai definisi umum dari kata-kata tersebut, yang mana berasal dari Gulliver’s Travels oleh Jonathan Swift: “rude –kuat-, unsophisticated -sederhana-, dan uncouth –kasar-)
Domain yahoo.com dibuat pada tanggal 18 Januari 1995. Karena Yang dan Filo menyadari potensi besar yang dimiliki oleh website mereka ini, akhirnya pada tanggal 1 Maret 1995, Yahoo diresmikan sebagai badan hukum.
Seperti kebanyakan mesin pencari pada web, Yahoo pun diversifikasi menjadi portal web. Pada akhir 1990-an, Yahoo!, MSN, Lycos, Excite, dan portal web lainnya mengalami perkembangan yang sangat pesat yang menyebabkan masing-masing portal web berlomba untuk memperluas jangkauan layanan mereka agar para pengguna internet lebih lama singgah pada portal web mereka. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan lain yang bisa menyediakan servis yang mereka inginkan..

SUMBER : http://gitadamai.blogspot.com/

Sabtu, 19 Januari 2013

Manusia dan Pandangan Hidup

PENGERTIAN PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGI
 
Pandangan hidup merupakan sesuatu yang sulit untuk dikatakan, sebab kadang-kadang pandangan hidup hanya merupakan suatu idealisme belaka yang mengikuti kebiasaan berpikir didalam masyarakat. Pandangan hidup juga bisa diimplementasikan sebagai hasil-hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman, fakta, dan sikap meyakini sesuatu yang diringkas sebagai pegangan, pedoman, petunjuk, atau arahan.

Pandangan hidup sangat bermanfaat bagi kehidupan individu, masyarakat, atau negara. Segala perbuatan, sikap, dan aturan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, merupakan refleksi dari pandangan hidup yang telah dirumuskan. Pandangan hidup sering disebut filsafat hidup. Filsafat hidup sendiri diarti-konkritkan sebagai kecintaan atau kebenaran yang bisa dicapai oleh siapapun. Maka dari itu, pandangan hidup dengan hakikat bisa dicapai oleh siapapun itu, sangat diperlukan oleh tiap manusia. Pandangan hidup tiap orang bisa berbeda bisa juga sama. Dari situ terdapat pengklasifikasian tentang asal dari pandangan hidup tersebut, sebagai berikut:

a. Pandangan hidup berasal dari agama merupakan pandangan hidup yang mutlak kebenarannya
b. Pandangan hidup ideologi merupakan pandangan hidup yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma negara tersebut.
c. Pandangan hidup hasil renungan merupakan pandangan hidup yang relatif kebenarannya.

Pandangan hidup pada dasarnya memiliki unsur-unsur, yaitu cita-cita, kebajikan, usaha, keyakinan. Cita-cita adalah sesuatu yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Kebajikan dalam hal ini, adalah nilai yang menjadi patokan usaha yang harus ditempuh untuk menggapai cita-cita. Usaha adalah hal-hal yang diupayakan sebaik mungkin untuk menggapai cita-cita yang harus dilandasi oleh keyakinan . Keyakinan diukur dengan daya pikir akal, jasmani, dan sikap maupun rasa kepada Tuhan. Hal ini yang mencirikan bahwa unsur-unsur pandangan hidup di atas saling berkaitan.

Setiap orang, baik dari tingkatan yang paling rendah sampai dengan tingkatan yang paling tinggi, mempunyai cita-cita hidup. Hanya kadar cita-citanya sajalah yang berbeda. Bagi orang yang kurang kuat imannya ataupun kurang luas wawasannya, apabila gagal mencapai cita-cita, tindakannya biasanya mengarah pada hal-hal yang bersifat negative. Suatu ironi memang, bila manusia sedang dalam keadaan senang, bahagia, serta kecukupan, mereka lupa akan pandangan hidup yang diikutinya dan berkurang rasa pengabdiannya kepada Sang Pencipta. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

a. Kurangnya penghayatan pandangan hidup yang diyakini.
b. Kurangnya keyakinan pandangan hidupnya.
c. Kurang memahami nilai dan tuntutan yang terkandung dalam pandangan hidupnya.
d.Kurang mampu mengatasi keadaan sehingga lupa pada tuntutan hidup yang ada dalam pandangan hidupnya.
e. Sengaja melupakannya demi kebutuhan diri sendiri.

Di sinilah peranan pandangan hidup seseorang. Pandangan hidup yang teguh merupakan pelindung seseorang. Dengan memegang teguh pandangan hidup yang diyakini, seseorang tidak akan bertindak sesuka hatinya. Ia tidak akan gegabah bila menghadapi masalah, hambatan, tantangan dan gangguan, serta kesulitan yang dihadapinya.

Sebagai tambahan, apabila pandangan hidup tesebut diterima oleh sekelompok orang sebagai pendukung suatu organisasi, maka pandangan hidup tersebut akan menjadi ideologi. Dan jika itu berkembang lagi, hingga lingkup kerakyatan atau negara maka disebut ideologi negara.

CITA-CITA
 
Cita-cita menurut definisi adalah keinginan, harapan, atau tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Tidak ada orang hidup tanpa cita-cita, tanpa berbuat kebajikan, dan tanpa sikap hidup.

Cita-cita itu perasaan hati yang merupakan suatu keinginan yang ada dalam hati. Cita-cita yang merupakan bagian atau salah satu unsur dari pandangan hidup manusia, yaitu sesuatu yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Sesuatu bisa disebut dengan cita-cita apabila telah terjadi usaha untuk mewujudkan sesuatu yang dianggap cita-cita itu.

KEBAJIKAN ATAU KEBAIKAN
 
Kebajikan atau kebaikan pada hakikatnya adalah perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma-norma agama atau etika. Manusia berbuat baik, karena menurut kodratnya manusia itu baik dan makhluk bermoral. Dia adalah seorang individu yang utuh, terdiri atas jiwa dan raga. Dia memiliki hati yang pada hakikatnya lagi, memihak pada kebenaran dan selalu mengeluarkan pendapat sendiri tentang pribadinya, perasaannya, cita-citanya, dan hal-hal lainnya. Dari yang dirasakan manusia tersebut, manusia cenderung lebih memihak pada kebaikan untuk dirinya sendiri. Inilah yang membuat sebagian manusia ‘terpilah’ menjadi manusia egois, yang seringkali seperti tidak mengenal kebajikan. Untuk melihat apa itu kebajikan, kita harus melihat dari 3 segi, yaitu :

a. Manusia sebagai pribadi, yang menentukan baik-buruknya adalah suara hati.
b. Manusia sebagai anggota masyarakat atau makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat, saling membutuhkan, saling menolong, dan saling menghargai anggota masyarakat
c. Manusia sebagai makhluk Tuhan

Kebajikan manusia nyata dan dapat dirasakan dalam tingkah lakunya. Karena tingkah laku bersumber dari pandangan hidup, maka setiap orang memiliki tingkah laku sendiri-sendiri. Terdapat tiga hal yang menjadi faktor yang mungkin dapat menjadikan seorang individu memiliki sikap tertentu, yaitu:

a.Pembawaan (hereditas) , sesuatu yang diturunkan dari orang tua pada anaknya.
b.Lingkungan, merupakan alam kedua yang melingkupi manusia dan di situ manusia baru akan terdidik dengan sendirinya agar bisa melanjutkan hidup.
c.Pengalaman, merupakan segala sifat dari keadaan-keadaan, baik itu manis ataupun pahit yang dirasakan dan cenderung sering terbesit di pikiran manusia.

USAHA ATAU PERJUANGAN
 
Usaha atau perjuangan adalah bentuk kerja keras untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita. Tanpa adanya usaha, hidup manusia tak ada artinya. Manusia diciptakan berakal dan berindra, di mana apa yang dititipkan-Nya harus dipotensialkan sesuai kemampuannya.

KEYAKINAN ATAU KEPERCAYAAN
 
Keyakinan atau kepercayaan berasal dari akal atau kekuasaan Tuhan. Manusia memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda dalam meraih tujuan atau cita-cita masing-masing. Pandangan hidup ini mau tidak mau akan menjadi pedoman untuk mengantarkan mereka pada tujuan atau cita-cita tersebut. Maka yang sebaiknya dilakukan manusia adalah memikirkan, merancang, atau menentukan langkah- langkah berpandangan hidup yang baik.


LANGKAH-LANGKAH BERPANDANGAN HIDUP YANG BAIK
 
Manusia pasti mempunyai pandangan hidup walau bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup itu sebagai sarana mencapai tujuan dan ada pula yang memperlakukaan sebagai penimbul kesejahteraan, ketentraman dan sebagainya.

Akan tetapi yang terpenting, kita seharusnya mempunyai langkah-langkah berpandangan hidup ini. Karena hanya dengan mempunyai langkah-langkah itulah kita dapat memperlakukan pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan dan cita-cita dengan baik. Adapun langkah-langkah itu sebagai berikut :

1. Mengenal
Mengenal merupakan suatu kodrat bagi manusia yaitu merupakan tahap pertama dari setiap aktivitas hidupnya yang dalam jal ini mengenal apa itu pandangan hidup. Tentunya kita yakin dan sadar bahwa setiap manusia itu pasti mempunyai pandangan hidup, maka kita dapat memastikan bahwa pandangan hidup itu ada sejak manusia itu ada, dan bahkan hidup itu ada sebelum manusia itu belum turun ke dunia.

2. Mengerti
Tahap kedua untuk berpandangan hidup yang baik adalah mengerti. Mengerti disini dimaksudkan mengerti terhadap pandangan hidup itu sendiri. Bila dalam bemegara kita berpandangan pada Pancasila, maka dalam berpandangan hidup pada Pancasila kita hendaknya mengerti apa Pancasila dan bagaimana mengatur kehidupan bemegara. Begitu juga bagai yang berpandangan hidup pada agama Islam. Hendaknya kita mengerti apa itu Al-Qur'an, Hadist dan ijmak itu dan bagaimana ketiganya itu mengatur kehidupan baik di dunia maupun di akherat.

3. Menghayati
Langkah selanjutnya setelah mengerti pandangan hidup adalah menghayati pandangan hidup itu. Dengan menghayati pandangan hidup kita memperoleh gambaran yang tepat dan benar mengenai kebenaran pandangan hdiup itu sendiri.

Menghayati disini dapat diibaratkan menghayati nilai-nilai yang terkandung didalamnya, yaitu dengan memperluas dan mernperdalam pengetahuan mengenai pandangan hidup itu sendiri. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam rangka menghayati ini, menganalisa hal-hal yang berhubungan dengan pandangan hidup, bertanya kepada orang yang dianggap lebih tahu dan lebih berpengalaman mengenai isi pandangan hidup itu atau mengenai pandangan hidup itu sendiri. Jadi dengan menghayati pandangan hidup kita akan memperoleh mengenai kebenaran tentang pandangan hidup itu sendiri.

4. Meyakini
Setelah mengetahui kebenaran dan validitas, baik secara kemanusiaan, maupun ditinjau dari segi kemasyarakatan maupun negara dan dari kehidupan di akherat, maka hendaknya kita meyakini pandangan hidup yang telah kita hayati itu. Meyakini ini merupakan suatu hal untuk cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga dapat mencapai suatu tujuan hidupnya.

5. Mengabdi
Pengabdian merupakan sesuatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu yang telah dibenarkan dan diterima baik oleh dirinya lebih-lebih oleh orang lain. Dengan mengabdi maka kita akan merasakan manfaalnya. Sedangkan perwujudan manfaat mengabdi ini dapat dirasakan oleh pribadi kita sendiri. Dan manfaat itu sendiri bisa terwujud di masa masih hidup dan atau sesudah meninggal yaitu di alam akherat.

6. Mengamankan


Mungkin sudah merupakan sifat manusia bahwa bila sudah mengabdikan din pada suatu pandangan hidup lalu ada orang lain yang mengganggu dan atau mayalahkannya tentu dia tidak menerima dan bahkan cendemng untuk mengadakan perlawanan. Hal ini karena kemungkinan merasakan bahwa dalam berpandangan hidup itu dia telah mengikuti langkah-langkah sebelumnya dan langkah-langkah yang ditempuhnya itu telah dibuktikan kebenarannya sehingga akibatnya bila ada orang lain yang mengganggunya maka dia pasti akan mengadakan suatu respon entah respon itu berwujud tindakan atau lainnya.

Hubungan Manusia dan Pandangan Hidup

Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberikan akal dan pikiran, serta hati.secara psikologi karakter manusia terbentuk dari tiga unsur, yaitu pikiran, hati nurani, dan hawa nafsu.ketiganya ini harus barjalan dengan seimbang dan saling mengendalikan satu sama lain untuk menjadikan karakter yang baik pada manusia tersebut.Maka, manusia semasa hidupnyadalam setiap pekerjaan dan kegiatannya selalu menggunakan ketiga unsur tersebut,sejak dilahirkan, manusia tentu saja telah memilki karakter bawaan dari orang tuanya, dan memiliki berbagai macam pengalaman semasa hidupanya samapi dia dewasa. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pandangan hidup yang berbada – beda pada setiap orang.
Pandangan hidup adalah sikap manusia yang paling mendasar dalam menyikapi setiap hal yang terjadi dalam hidupnya, baik itu berupa masalah, tugas, tantangan dan segala yang dilakukannya manusia pasti mempunyai pandangannya masing – masing. Saya sebagai makhluk Tuhan yang beragama meyakini bahwa Tuhan itu ada,dan sangat berperan penting dalam kehidupan.banyak hal – hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat di dunia ini, karena memang hal tersebut tidak akan bisa kita pikirkan dengan pikiran kita yang terbatas.hal inilah yang kita sebut sebagai iman.banyak orang yang mempertanyakan tentang kepercayaan orang lain yang tidak bisa diterima dengan akal sehatnya. Jawabannya adalah iman.karena iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.sama halnya seperti rasa sakit, cinta, dan kasih, yang kita tidak dapat mengetahui seperti apa wujudnya, dan tidak dapat kita pikirkan dengan akal sehat tetapi kita mempercayai keberadaan hal tersebut.
·         Menurut asalnya pandangan hidup dibagi menjadi 3 yaitu :
1.    Pandangan hidup yang berasal dari agama,
2.    Pandangan hidup yang berupa ideologi, dan
3.    Pandangan hidup hasil renungan.
·         Pandangan hidup terdiri dari 4 unsur antara lain :
1.    Cita – Cita yang diinginkan dapat diraih dengan usaha dan perjuangan,
2.    Berbuat baik dalam segala hal dapat membuat seseorang merasa bahagia, damai, dan tentram,
3.    Usaha atau perjuangan adalah kerja keras yang dilandasi oleh keyakinan, dan
4.    Keyakinan dan kepercayaan adalah hal yang terpenting dalam hidup manusia.
Dalam perjuangan menuju kehidupan yang lebih sempurna, sebagai makhluk Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia memerlukan nilai-nilai unsure yang akan dianutnya sebagai pandangan hidup-nilai luhur adalah tolak ukur kebaikan yang berkenan dengan hal-hal yang bersifat mendasar atau abadi dalam hidup manusia. Seperti tentang cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam hidup ini.
Lembaga Yang Mewujudkan Pandangan Hidup
Fungsi lembaga-lembaga yang dibentuk manusia adalah sebagai instrument, sarana, dan wahana untuk mewujudkan pandangan kehidupan adalah sekedar merupakan konsepsi yang bersifat abstrak, tanpa daya untuk mewujudkan dirinya dalam kenyataan.
Sebagai makhluk sosial manusia tidaklah mungkin hidup menyendiri. Oleh karena itu, setiap manusia pribadi hidup sebagai bagian dari lingkungan social yang lebih luas, secara berturut-turut lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dll.
Hubungan Pandangan Hidup Masyarakat.
Hubungan pandangan mengenai kehidupan manusia dan masyarakat berdasarkan pada pandangan tentang manusia. Pandangan tentang manusia ini di dasarkan pada Pancasila. Dari sini dapat pula diartikan sebagai pandangan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hubungan inilah manusia dapat hidup dan menghidupi. Manusia hidup dalam hubungan dengan Tuhannya dan dalam perlindunganNya selamanya termasuk dengan lingkungan. Dengan dan dalam kebudayaan dan serba hubungan menjadikan dunia dan lingkungan lebih menyenangkan dan menjadikan hidup lebih baik.
Pandangan Hidup Berbangsa dan Bernegara
Konsep bangsa yang digunakan untuk merumuskan sila ketiga terutama konsep E Renan, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan,sedangkan factor-faktor yang mendorong manusia ingin bersatu itu bermacam-macam. Dalam hal ini apa yang digariskan oleh pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk republik.
Factor pendorong kea rah persatuan yang ditekankan oleh WD ialah pendidikan, budaya yang diatur dalam pasal 31ayat (2) pemerintah berusaha menyelenggarakan suatu sistem penghujatan nasional yang diatur dengan undang-undang.
Norma-norma itulah yang harus di ikuti agar orang-orang Indonesia dapat hidup berbangsa sesuai dengan pancasila dan menjalankan sila 3 yang wujudkan pasal-pasal tersebut. Orang Indonesia tidak terlepas dari pasal-pasal lain. Lewat hal ini pulalah kecintaan manusia kepada Indonesia kepada bendera merah putih dan bahasa Indonesia dapat dikemukakan secara intensif.

                      - http://nak-baliparadise.blogspot.com/2012/06/manusia-dan-pandangan-hidup.html


KESEDIHAN DAN HARAPAN

Ada seorang perempuan mungil sedang berjalan menelusuri sepanjang jalan berdebu. Ia kelihatan tua, tapi raut wajahnya selalu tersenyum, memancarkan cahaya terang bagaikan seorang gadis periang.
Perempuan tua itu kelihatan kurus kerempeng, yang kemudian tiba-tiba berhenti melangkah di suatu tempat tak berpenghuni, ia menunduk ke bawah, dan menatap ke arah bentuk menyerupai sosok tubuh, yang sedang duduk berjongkok, bungkuk merunduk terbungkus debu. Ia tak bisa mengenali lagi raut wajahnya. Ini mengingatkan dirinya pada kain sutra abu-abu menyelimuti tubuh manusia. Perempuan mungil dan kecil itu lalu menghampiri serta menyapanya dengan suara lembut, “Siapakah anda?”
Pancaran mata menatap hampa itu seperti tak bernyawa,  dan tampak lelah, “Aku? Kesedihan.” Bisiknya terbata-bata, suaranya lembut berirama sendu hampir tak terdengar.
“Oh, kesedihan,” Jawab perempuan mungil itu dengan rasa penuh bahagia, seakan-akan mendengar ucapan dari seorang teman akrab yang telah dikenal lama.
“Anda kenal saya?” Tanyanya curiga.
“Tentu saja aku tahu kau siapa, bukankah kau telah membimbing sebagian jalan hidupku?
“Ya, tapi..” Kesedihan agak tergagap, “Mengapa kau tak tinggalkan saja aku sendiri disini?”
“Mengapa aku harus meninggalkanmu, sayangku? Bukankah kau telah mengetahuinya, bagaimana nasib hidup setiap pengungsi yang diasingkan? Sebenarnya aku ingin bertanya ke kau, mengapa kau tampaknya begitu putus asa?” Tanya perempuan tua itu dengan penuh perhatian, lalu ditatapnya mata kesedihan. Wajah yang dulu teduh dan tenang itu kini berurai air mata kesedihan.
“Aku … Aku sedih,” jawab sosok berselimut abu itu, suaranya bergetar menahan pedihnya Kesedihan.
Perempuan tua itu lalu duduk di sampingnya, “Kau kelihatan begitu sedih,” katanya sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya dengan penuh perhatian dan pengertian, “Ceritakanlah apa yang membuat kau begitu mendalam sedihnya.”
Kesedihan menghela napas dalam-dalam. Terbersit dibenaknya, apakah kali ini memang ada orang yang benar-benar ingin mendengarkan kisah keinginannya? begitu seringnya orang yang ditemuinya menjadi harapan keinginan dirinya.
“Oh, kau tahu itu,..” ia mulai hati-hati bercerita, “tak ada seorangpun yang menginginkanku. Ini sudah suratan hidupku, hanya sejenak hadir diantara orang-orang yang ingin denganku. jika aku datang menghampirinya, mereka itu seketika merasa takut, serta menghindarinya seperti aku ini wabah penyakit menular… “.
Kesedihan itu menelan air ludahnya, kemudian meneruskan tuturkatanya: “Mereka itu telah menciptakan kata-kata, yang di ucapkan untuk orang-orang yang ingin mereka asingkan, katanya: “Ah, hidup ini adalah sebuah pesta besar”, dan dengan kepalsuan tawa riangnya, menyebabkan perut mereka jadi kejang-kejang atau menderita gangguan pernapasan, katanya, “kekesalan membuat situasi semakin parah”
Namun kenyataannya mereka diserang sakit jantung, lalu katanya “Anda harus tetap bersama-sama”, tetapi malah di bahu dan punggung mereka terasa semakin sakit dan nyeri, kemudian katanya lagi, “Ah..mengeluh dan menangis hanya orang yang lemah, akhirnya mereka harus menahan air mata, yang membuat kepala mereka merasa hampir meledak karena terjangkit penyakit migraine akut. Atau mereka malah di bikin mati rasa, menjadi pecandu alkohol atau obat-obatan, sehingga mereka tidak lagi merasakan aku.”
“Oh ya, orang-orang ini memang sering kutemui” Jawab perempuan tua itu dengan penuh keyakinan akan penjelasan Kesedihan.
Gejolak perasaan Kesedihan seperti semakin tenggelam dalam ketidak berdayaanya,
“Padahal aku ini hanya ingin membantu orang lain. Bila aku sangat dekat dengannya, maka mereka itu bertemu dalam membangun rumah dirinya, dengan begitu mereka mampu menyembuhkan luka-lukanya sendiri. Sedih memiliki kulit sangat tipis, dan luka itu rasanya pedih serta menyakitkan. Penderitaan akan berlangsung lama, bila penyembuhan luka parahnya tidak ditangani sampai tuntas,”
Sejenak Kesedihan memandang Perempuan Tua itu, dan menatapnya sedih dengan penuh kekecewaan,
“Ugh..padahal siapa yang mau kubantu, yang tidak menangis akan menjadi nangis sampai mengeluarkan airmata, dengan begitu lukanya benar-benar bisa sembuh. Tapi bagi orang-orang yang tidak ingin kubantu, sebaliknya, malah mentertawakanku dengan bekas luka mereka yang masih memberkas, atau bahkan mereka penjarakan aku dengan lapisan baju besi masa lalunya, penuh dengan penderitaan sangat pahit rasanya…” Kesedihan tiba-tiba terdiam.
Suasana terasa menjadi hening dan mencekam, tak lama kemudian terdengar suara isak tangis Kesedihan. Menangis memang awalnya lemah, namun bisa menguat sampai akhirnya putus asa. Perempuan tua itu lantas mendekatkan tubuh sosok Kesedihan, dirangkulnya dalam pelukannya, lalu dihiburnya Kesedihan dengan kelembutan belaian sentuhannya, serasa dalam jiwa getaran keinginan dari tumpuhan harapannya.
“Menangislah, sedih,” bisiknya penuh kasih sayang. “Ketenangan akan memberimu kekuatan baru, mulai saát ini kau tak akan sendirian. Aku akan memandumu sampai putus asamu tidak lagi berkuasa dalam dirimu.”
Kesedihan tiba-tiba berhenti menangis. Ia duduk dan memandang teman barunya dengan heran, “Tapi ….. tapi .. siapakah kau?”
“Aku?” Tanyanya kembali pada Kesedihan, tiba tiba rambut Perempuan mungil dan tua itu kelihatan semakin memutih, yang kemudian ia tersenyum cerah bagaikan gadis muda yang periang, lalu jawabnya ceria “Aku, adalah Harapan.”
***


Ketulusan yang Berbuah Cita-cita



“Elo duluan ajah!”
            Andre tersenyum tajam. Membuat saya semakin bingung harus berkata apa lagi. Sebenarnya saya merasa berat sekali mengatakan hal ini. Andre menatap saya dingin. Sedingin retakan es yang berkumparan terapung di permukaan Artik. Bak memandamkan matahari, saya menahan emosi yang hampir saja membludak. Andai saja samudera dapat saya kuras, saya akan menumpahkan isinya pada sesorang yang mematung paksa di hadapan saya.
Jika seluruh mata memandang kami, mereka pasti mengatakan “Wah... couple yang serasi ya?! Akur!” padahal saya sendiri menganggapnya great rival. Ya... kami terlahir di tempat, hari dan dari dalam rahim yang sama. Kami kembar.
Saya kembali mengulang kata-kata saya barusan.
“Elo duluan ajah! Gue bisa taon depan. Nggak usah khawatir, gue nggak keberatan!” dengan berusaha menarik kedua ujung bibir saya, saya melemparkan senyum terhangat saya padanya. Memang terlihat terpaksa.
“Enggak, Ndra! Gue udah pernah bilang sama lo, apapun yang terjadi kita harus bareng! Gue ikhlas, Ndra. Lulus kuliah taon depan, nggak masalah!” senyumnya masih melekat kuat di wajah tegasnya. Sebenarnya wajah saya juga tidak kalah tegas. Dia itu cakep, saya juga cakep. Toh kami ini kembar. Hohoho...
Saya sedikit heran dengan kebiasaan kami yang juga kembar. Kami terlihat akrab dan saling sapa satu sama lain. Saling tersenyum dan saling membantu. Walau sosialisasi antara kami seperti itu, tapi sebenarnya dalam hati, kami saling bersaing. Senyum ya senyum. Tapi jika hati kami bermata, kami akan saling menatap tajam bak elang. Namanya juga great rival. Sudah wajar seperti itu. Namun kami bisa menutupinya dengan amat sangat ‘sempurna’.
 “Enggak bisa gitu dong, Ndre! Lo kan udah beres. Skripsi lo udah di tangan pembina lo. Tinggal tunggu kapan lo kepanggil. Masa cuma gara-gara pembina gue pergi, lo mau tarik kembali skripsi lo? Kasian Nyokap, Ndre! Bisa stres dia ngeliat kita yang belum lulus S1 ni taon. Barengan lagi!”
“Lo inget do’a Emak?”
Oke. Saya memang selalu membanding-bandingkan kelebihan dan kekurangan saya dengannya. Tapi jujur saja, hampir tak ada bedanya. Sifat dan kelebihan kami dalam bidang sosialisasi, akademik formal juga non-formal dan seni pun serupa. Kami bersekolah di sebuah pondok pesantren yang sangat populer di Jawa Timur. Yang mencetak puluhan ribu alumni sukses yang beberapa puluhnya sudah sangat familiar di telinga seluruh rakyat Indonesia. Dan dengan harapan agar kami dapat mengikuti jejak mereka, Ibu kami pun memasukkan kami di pondok pesantren tersebut.
Tujuan utamanya bukan agar kami sukses seperti mereka. Ibu hanya ingin agar kami dapat mempelajari, mendalami dan mengamalkan ilmu agama yang kami ambil disana 24 jam non-stop. Karena sebelum kami lulus dari lembaga pendidikan islam bertaraf Internasional itu, kami sulit untuk saling akur. Terkadang bertengkar. Kebanyakan diam-diaman. Jarang sekali ada yang mau mengalah.
Tapi sekarang... jrengggg!!! Semuanya berbalik 360 derajat. Ehh... 180 derajat. Jangankan mengalah, saling mendahulukan untuk yang membutuhkan pun tak jarang. Bahkan sampai nada kami meninggi karena tak ada yang mau menerima, keduanya ingin selalu berbagi dan peduli. Aneh memang.
Setelah lulus SD, Ibu tak sungkan ‘menyeret’ kami untuk mendaftar di pondok pesantren tersebut. Walau sebenarnya kami tahu, Ibu amat sedih karena kami tak lagi tinggal seatap dengannya kala itu. Karena hanya kami anak Ibu, sedangkan Ayah sudah lama meninggal. Dan kini kami masih menetap di lembaga pendidikan itu sampai saat ini. Untuk menyelesaikan gelar sarjana kami di Universitas yang dibangun oleh pondok pesantren tersebut.
Ibu selalu berdo’a di setiap detik jika bayangan kami terlukis di kanvas pikirannya, agar Allah selalu memberikan dua kesempatan yang sama pada kami. Jika saya mendapat nilai sepuluh, dia pun harus sepuluh. Mungkin Ibu tahu, saya dan dia sama-sama berwatak keras.
Do’a Ibu pun dipelihara oleh Sang Penentu Takdir. Setiap ada masalah, kami pasti terlibat bersamaan, sengaja mau pun tak disengaja. Selama niat banding-membandingi terlintas, kejadian itu selalu membentur dinding kehidupan kami.
“Gue ikut lo ni taon. Kita berhenti bareng dan bakal lulus bareng. Allah lebih tahu. Gue juga udah mikirin hal ini mateng-mateng. Kita kuliah bukan buat maen-maen kan, Ndra?”
Jujur. Saya tersinggung. Tapi tepatnya juga bersyukur berkembaran dengannya. Bersaudara-lah intinya. Skripsi yang sudah saya susun memang bermasalah. Bukan. Bukan pada konteks skripsinya, namun pada pelengkap terbentuknya skirpsi sungguhan. Maksud saya pada penyelesaian S1 ini. Dosen pembina saya mendadak bertugas ke luar negri dan ia membawa srikpsi saya. Sudah puluhan kali saya berniat untuk memohon pada rektor agar diberikan toleransi atau apalah namanya. Namun percuma saja. Toh skripsi saya dibawanya.
Saya sudah menghubungi dosen pembina saya. Namun ia pun minta maaf, beliau kembali dua bulan mendatang ke Indonesia. Awalnya saya terpikir untuk menyarankan beliau agar mengirimkan saja lewat pos kilat atau semacam itu. Hanya saja itu tak mungkin.
Karena sidang kelulusan akan berakhir pekan ini. Dua hari lagi.
“Gue ikhlas, Ndra! Lo jangan mikir yang macem-macem ya?” dia tersenyum. Tulus.
Mulai saat itu, saya bertekad. Gue harus lulus ni taon!
ṧṧṧ
            Allahumma inni as-aluka, an taj’ala kulla qodhooin, qodhoitahu lii khoir! Ya Allah, saya memohon padamu, agar Engkau menjadikan seluruh perkara takdir yang telah Engkau takdirkan kepadaku, baik untukku!
            Itulah do’a saya yang terus terlantunkan di recorder otak saya. Sebuah do’a yang pernah saya rekam dari seorang guru bijak ketika saya duduk di kelas 6. Di pondok pesantren saya kelas 6 itu kelas tertinggi. Jika disetarakan dengan lembaga pendidikan negeri, kelas 6 itu sama dengan kelas XII, kelas 3 SMA. Beliau selalu berbagi pengalaman bermanfaat yang disertai do’a terhadap murid-muridnya.
            Kini saya berada dalam sebuah bus kota. Niat saya untuk lulus tahun ini bersama ‘dia’ –yang malas saya sebut namanya- membuat saya berniat kuat untuk melakukan apapun. Beberapa teman menyarankan agar saya mencoba berunding dengan dosen-dosen yang akan berangkat ke Pakistan, dimana dosen pembina saya menetap di tempat itu. Dengan tekad yang dibulat-bulatkan –karena saya juga merasa terpaksa- saya pun menuju pondok pesantren putri. Beberapa dosen saya bertempat tinggal disana. Termasuk Dekan fakultas saya.
            Namun sang tokoh utama dalam penggerakan tekad lulus saya adalah ‘dia’ dan Ibu. Bayangan mereka laksana nuansa gemintang seluk-beluk batin saya. Abadi bak rembulan malam yang terlukis antara langit dan permukaan bumi. Saya tidak pernah berpikir untuk mengecewakan mereka. Dunia akhirat. Do’a Ibu pun menyapu kembali pikiran saya.
            Suatu bukti akurat atas terciptanya kuasa Allah akan do’a Ibu, ketika saya dan ‘dia’ mengikuti ujian masuk di pondok pesantren itu. Kami lulus dan berada di kelas teratas. Bersamaan.
            Di kelas pemula, kami bersaing apa adanya. Tidak terlalu terobsesi akan prestasi. Namun kami tergugah saat kami mendengar pengumuman bahwa akan diadakan ujian untuk loncat kelas. Dari kelas satu, akan berada di kelas tiga. Saya pun melirik ‘dia’. Sebuah kode dari saya berhasil ditangkapnya dengan sempurna.
            “Lo ikut?” tanyanya setelah menghirup udara luar kelas.
            “Apa salahnya mencoba” saya sok cuek.
            “Kalo salah satu di antara kita nggak lulus?”
            “Itu resiko!” ucap saya ketus.
            Dan mulai lah kami menabuh genderang perang itu. Kami pun meminta restu Ibu. Ibu hanya mengatakan “Allah bersamamu, Nak”. Sekejap hati kami luluh.
            Seminggu setelah ujian loncatan itu berlangsung, sebuah kertas folio tertempel bangga di papan-papan pengumuman. Di antara kurang-lebih 70 peserta, hanya 14 yang mengikuti syarat. Artinya hanya 14 siswa yang lulus. Siswa di angkatan kami, kelas satu berjumlah 740. Dan yang merasa ‘pintar’ lalu mengikuti ujian loncatan tersebut hanya 70-an.
            Andra Hendrawan dan Andre Hendrawan. Dua nama itu saja yang meruntuhkan kokohnya tiang rasa bersaing antara saya dan ‘dia’. Ternyata Ibu benar.
            Allah mengabulkan do’a tulus Ibu.
            Kembali saya ceritakan perjalanan saya menemui Dekan. Jarak yang cukup jauh mengharuskan saya untuk berlama-lama dalam bus ini. AC yang sengaja ‘dipermak’ minim terkadang menggelitik nurani saya untuk mengutuk-ngutuk bus ini. Panas sekali...
            Bus itu pun berhenti di terminal.
            “Tahu Sumedang, Mas! Hanya dua ribu!” seorang penjaja makanan menghampiri penumpang yang mulai mengosongi volume bus. Saya pun ikut turun.
            Monggo, Mas! Yang ini masih panas” yakinnya pada beberapa penumpang yang turun. Tak ada yang peduli. Semuanya mengabaikan. Sekejap tatapan saya seakan pudar. Bayangan skripsi yang belum kelar itu berotasi dengan sempurna di otak saya. Ya Allah... mudahkan jalan hamba-Mu!
            Saya menoleh ke arah wanita tua yang menawarkan buahannya. Pakaiannya lusuh. Matanya sayu. Tubuh kurusnya dililit kulit keriput berdaging tipis. Tidak tega saya melihatnya berlari tergopoh di bawah teriknya mentari pertengahan siang. Terlintas pula usaha gigihnya wanita itu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu yang saya pikirkan, kemana anak ibu ini?
            Saya mengecek dompet pemberian ‘dia’ ketika saya berulang tahun. Tinggal empat puluh ribu! Saya pun mengurung niat putih yang sempat hinggap.
            “Tahu, Mas?”
            Saya tak dapat menyembunyikan rasa prihatin itu, bayangan Ibu menerangi pandangan saya. “Berapa satu?” tiba-tiba kalimat itu terlontar.
            “Dua ribu, monggo!” ia tersenyum senang.
            “Seribu saja, ya?” tawar saya menguji.
            “Mas mau beli berapa?”
            “Saya beli tiga!”
            Terlihat ia berpikir lama, “Yo wes, empat ribu saya kasih tiga!” ada gurat kecewa.
            Saya mengeluarkan dompet saya, uang sepuluh ribu saya sodorkan “Ini buat Ibu saja! Nggak usah kembalian! Saya minta do’a biar skripsi saya dimudahkan oleh-Nya” senyum saya tulus. Dan saya pun meninggalkannya tanpa mengambil Tahu Sumendang yang ia tawarkan.
            Ibu itu tersenyum “Terima kasih, Mas! Gusti Allah memudahkannya!” ia berkomat-kamit sambil menatap langit. Ada butiran di ujung kelopak matanya.
            Bagi saya uang sepuluh ribu tak begitu berarti. Namun berbeda bagi mereka yang amat sangat sulit meraih upah dalam sehari. Untuk pedagang seperti ibu tadi, ada yang membeli saja sudah bersyukur.
            “Melon, Mas?”
            Suara itu mengagetkan saya. Saya pun menoleh. Tersenyum. Bagaimana ini? Uang tinggal tiga puluh ribu. Ongkos pulang...
            “Manis, Mas!” ia tersenyum yakin.
            Sebenarnya saya tidak begitu tertarik, di samping itu...
            “Ini buat ibu saja! Saya minta do’a agar skripsi saya dimudahkan oleh-Nya” Ya Allah... bantu hamba! Saya kembali tersenyum.
            Pedagang itu menatap bahagia. Sikap serupa dengan wanita tua tadi, ibu ini mendo’akan saya sedetik setelah selembar uang sepuluh ribu saya berikan.
            Saya pun berlalu. Hanya saja...
            “Hei... ke Mas yang itu! Mas yang pakai baju biru itu baik lho!” teriak seseorang di belakang saya. Mendadak saya terhenti, merasa seruan tadi tertuju pada saya yang berbaju biru. Saya menoleh...
            Apa?
            Beberapa pedagang tua berkerumun di belakang saya.
            Bagaimana ini?
ṧṧṧ
            Allah mendengar do’a dan niat tulus saya. Dengan sisa uang yang saya miliki kemarin, saya membagikannya. Seluruhnya. Dengan niat agar Allah memudahkan perkara ini. Perkara yang sempat menginjak jiwa juang saya, sehingga saya tersungkur perih dalam curamnya jurang putus asa. Namun kini, semuanya sehangat mentari.
            “Ndra, kita telpon Ibu ya?”
            Saya mengangguk sambil tersenyum. Menatap ‘dia’ yang juga tersenyum. Bahagia.
            Saya pun mengerti. Rasa peduli akan memberi sebagian harta untuk orang yang lebih membutuhkan membuahkan kemudahan saya dalam menggapai cita-cita. Ketulusan yang saya genggam, yang Ibu simpan dan yang ‘dia’ berikan, membuat kesempitan yang menghimpit urusan saya menjadi lapang. Allah menilai segala usaha hamba-Nya.
            Dosen pembina tersebut ternyata menitipkan skripsi saya pada seorang mahasiswa yang  berpulang ke Indonesia. Tepat ketika saya kembali dari usaha saya menemui dekan. Mahasiswa Pakistan itu adalah salah satu calon dosen yang akan mengajar pada Universitas di pondok pesantren saya. Seketika saya bersujud syukur pada Sang Investor Kehidupan.
            Mudah sekali Allah membantu hamba-Nya yang kesusahan. Sebagaimana mudahnya Dia membuat soal ujian yang amat sangat rumit. Semuanya tergantung do’a, niat, usaha dan keikhlasan manusia dalam menjalankan ujian tersebut. Allah Maha Mendengar dan Melihat.
            Kala itu, saya dan ‘dia’ pun meraih gelar sarjana yang kami cita-citakan dalam tempat, suasana, detik dan rasa bahagia yang sama.
ṧṧṧ