Jumat, 25 Januari 2013
Yahoo! Inc. merupakan sebuah perusahaan publik Amerika dengan kantor pusat di Sunnyvale, California (tepatnya di Silicon Valley), yang menyediakan layanan internet secara global, meliputi seluruh dunia. Perusahaan ini terkenal akan portal web, mesin pencari (Yahoo! Search), Yahoo! Directory, Yahoo! Mail, Yahoo! News, iklan, pemetaan online (Yahoo! Maps), Yahoo! Video, dan website media sosial dan jasa.
Yahoo dirintis oleh Jerry Yang dan David Filo pada bulan Januari 1994 dan diresmikan sebagai badan hukum pada tanggal 1 Maret 1995. Pada tanggal 13 Januari 2009, Yahoo mengangkat Carol Bartz, mantan kepala eksekutif Autodesk, sebagai kepala eksekutif dan anggota dewan direksi Yahoo yang baru.
== Sejarah Yahoo ==Teks miring Yahoo! pada awalnya hanyalah semacam bookmark (petunjuk halaman buku), ide itu berawal pada bulan April 1994, saat itu dua orang alumni Universitas Stanford mendapat liburan ketika profesor mereka pergi ke luar kota karena cuti besar. Dua mahasiswa teknik tersebut hanya mempunyai sedikit pekerjaan yang harus dilakukan selain menjelajah internet. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk mengkompilasi sebuah daftar bookmark yang besar, yang dikelompokkan berdasarkan subyek. Kemudian mereka berpikir untuk memasukannya di web, dan mulai bekerja membuat sebuah program database untuk menanganinya sehingga dapat memberikan hasil secara online.
Pada bulan April 1994 tersebut, bookmark yang tadinya diberi nama “Jerry and David’s Guide to World Wide Web” diganti menjadi Yahoo!, yang mana berasal dari kata “Yet Another Hierarchical Officious Oracle”. Filo dan Yang memilih kata tersbeut karena mereka menyukai definisi umum dari kata-kata tersebut, yang mana berasal dari Gulliver’s Travels oleh Jonathan Swift: “rude –kuat-, unsophisticated -sederhana-, dan uncouth –kasar-)
Domain yahoo.com dibuat pada tanggal 18 Januari 1995. Karena Yang dan Filo menyadari potensi besar yang dimiliki oleh website mereka ini, akhirnya pada tanggal 1 Maret 1995, Yahoo diresmikan sebagai badan hukum.
Seperti kebanyakan mesin pencari pada web, Yahoo pun diversifikasi menjadi portal web. Pada akhir 1990-an, Yahoo!, MSN, Lycos, Excite, dan portal web lainnya mengalami perkembangan yang sangat pesat yang menyebabkan masing-masing portal web berlomba untuk memperluas jangkauan layanan mereka agar para pengguna internet lebih lama singgah pada portal web mereka. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan lain yang bisa menyediakan servis yang mereka inginkan..
SUMBER : http://gitadamai.blogspot.com/
Sabtu, 19 Januari 2013
Manusia dan Pandangan Hidup
PENGERTIAN PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGI
Pandangan hidup merupakan sesuatu yang sulit untuk dikatakan, sebab kadang-kadang pandangan hidup hanya merupakan suatu idealisme belaka yang mengikuti kebiasaan berpikir didalam masyarakat. Pandangan hidup juga bisa diimplementasikan sebagai hasil-hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman, fakta, dan sikap meyakini sesuatu yang diringkas sebagai pegangan, pedoman, petunjuk, atau arahan.
Pandangan hidup sangat bermanfaat bagi kehidupan individu, masyarakat, atau negara. Segala perbuatan, sikap, dan aturan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, merupakan refleksi dari pandangan hidup yang telah dirumuskan. Pandangan hidup sering disebut filsafat hidup. Filsafat hidup sendiri diarti-konkritkan sebagai kecintaan atau kebenaran yang bisa dicapai oleh siapapun. Maka dari itu, pandangan hidup dengan hakikat bisa dicapai oleh siapapun itu, sangat diperlukan oleh tiap manusia. Pandangan hidup tiap orang bisa berbeda bisa juga sama. Dari situ terdapat pengklasifikasian tentang asal dari pandangan hidup tersebut, sebagai berikut:
a. Pandangan hidup berasal dari agama merupakan pandangan hidup yang mutlak kebenarannya
b. Pandangan hidup ideologi merupakan pandangan hidup yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma negara tersebut.
c. Pandangan hidup hasil renungan merupakan pandangan hidup yang relatif kebenarannya.
Pandangan hidup pada dasarnya memiliki unsur-unsur, yaitu cita-cita, kebajikan, usaha, keyakinan. Cita-cita adalah sesuatu yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Kebajikan dalam hal ini, adalah nilai yang menjadi patokan usaha yang harus ditempuh untuk menggapai cita-cita. Usaha adalah hal-hal yang diupayakan sebaik mungkin untuk menggapai cita-cita yang harus dilandasi oleh keyakinan . Keyakinan diukur dengan daya pikir akal, jasmani, dan sikap maupun rasa kepada Tuhan. Hal ini yang mencirikan bahwa unsur-unsur pandangan hidup di atas saling berkaitan.
Setiap orang, baik dari tingkatan yang paling rendah sampai dengan tingkatan yang paling tinggi, mempunyai cita-cita hidup. Hanya kadar cita-citanya sajalah yang berbeda. Bagi orang yang kurang kuat imannya ataupun kurang luas wawasannya, apabila gagal mencapai cita-cita, tindakannya biasanya mengarah pada hal-hal yang bersifat negative. Suatu ironi memang, bila manusia sedang dalam keadaan senang, bahagia, serta kecukupan, mereka lupa akan pandangan hidup yang diikutinya dan berkurang rasa pengabdiannya kepada Sang Pencipta. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Kurangnya penghayatan pandangan hidup yang diyakini.
b. Kurangnya keyakinan pandangan hidupnya.
c. Kurang memahami nilai dan tuntutan yang terkandung dalam pandangan hidupnya.
d.Kurang mampu mengatasi keadaan sehingga lupa pada tuntutan hidup yang ada dalam pandangan hidupnya.
e. Sengaja melupakannya demi kebutuhan diri sendiri.
Di sinilah peranan pandangan hidup seseorang. Pandangan hidup yang teguh merupakan pelindung seseorang. Dengan memegang teguh pandangan hidup yang diyakini, seseorang tidak akan bertindak sesuka hatinya. Ia tidak akan gegabah bila menghadapi masalah, hambatan, tantangan dan gangguan, serta kesulitan yang dihadapinya.
Sebagai tambahan, apabila pandangan hidup tesebut diterima oleh sekelompok orang sebagai pendukung suatu organisasi, maka pandangan hidup tersebut akan menjadi ideologi. Dan jika itu berkembang lagi, hingga lingkup kerakyatan atau negara maka disebut ideologi negara.
CITA-CITA
Cita-cita menurut definisi adalah keinginan, harapan, atau tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Tidak ada orang hidup tanpa cita-cita, tanpa berbuat kebajikan, dan tanpa sikap hidup.
Cita-cita itu perasaan hati yang merupakan suatu keinginan yang ada dalam hati. Cita-cita yang merupakan bagian atau salah satu unsur dari pandangan hidup manusia, yaitu sesuatu yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Sesuatu bisa disebut dengan cita-cita apabila telah terjadi usaha untuk mewujudkan sesuatu yang dianggap cita-cita itu.
KEBAJIKAN ATAU KEBAIKAN
Kebajikan atau kebaikan pada hakikatnya adalah perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma-norma agama atau etika. Manusia berbuat baik, karena menurut kodratnya manusia itu baik dan makhluk bermoral. Dia adalah seorang individu yang utuh, terdiri atas jiwa dan raga. Dia memiliki hati yang pada hakikatnya lagi, memihak pada kebenaran dan selalu mengeluarkan pendapat sendiri tentang pribadinya, perasaannya, cita-citanya, dan hal-hal lainnya. Dari yang dirasakan manusia tersebut, manusia cenderung lebih memihak pada kebaikan untuk dirinya sendiri. Inilah yang membuat sebagian manusia ‘terpilah’ menjadi manusia egois, yang seringkali seperti tidak mengenal kebajikan. Untuk melihat apa itu kebajikan, kita harus melihat dari 3 segi, yaitu :
a. Manusia sebagai pribadi, yang menentukan baik-buruknya adalah suara hati.
b. Manusia sebagai anggota masyarakat atau makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat, saling membutuhkan, saling menolong, dan saling menghargai anggota masyarakat
c. Manusia sebagai makhluk Tuhan
Kebajikan manusia nyata dan dapat dirasakan dalam tingkah lakunya. Karena tingkah laku bersumber dari pandangan hidup, maka setiap orang memiliki tingkah laku sendiri-sendiri. Terdapat tiga hal yang menjadi faktor yang mungkin dapat menjadikan seorang individu memiliki sikap tertentu, yaitu:
a.Pembawaan (hereditas) , sesuatu yang diturunkan dari orang tua pada anaknya.
b.Lingkungan, merupakan alam kedua yang melingkupi manusia dan di situ manusia baru akan terdidik dengan sendirinya agar bisa melanjutkan hidup.
c.Pengalaman, merupakan segala sifat dari keadaan-keadaan, baik itu manis ataupun pahit yang dirasakan dan cenderung sering terbesit di pikiran manusia.
USAHA ATAU PERJUANGAN
Usaha atau perjuangan adalah bentuk kerja keras untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita. Tanpa adanya usaha, hidup manusia tak ada artinya. Manusia diciptakan berakal dan berindra, di mana apa yang dititipkan-Nya harus dipotensialkan sesuai kemampuannya.
KEYAKINAN ATAU KEPERCAYAAN
Keyakinan atau kepercayaan berasal dari akal atau kekuasaan Tuhan. Manusia memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda dalam meraih tujuan atau cita-cita masing-masing. Pandangan hidup ini mau tidak mau akan menjadi pedoman untuk mengantarkan mereka pada tujuan atau cita-cita tersebut. Maka yang sebaiknya dilakukan manusia adalah memikirkan, merancang, atau menentukan langkah- langkah berpandangan hidup yang baik.
LANGKAH-LANGKAH BERPANDANGAN HIDUP YANG BAIK
Manusia pasti mempunyai pandangan hidup walau bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup itu sebagai sarana mencapai tujuan dan ada pula yang memperlakukaan sebagai penimbul kesejahteraan, ketentraman dan sebagainya.
Akan tetapi yang terpenting, kita seharusnya mempunyai langkah-langkah berpandangan hidup ini. Karena hanya dengan mempunyai langkah-langkah itulah kita dapat memperlakukan pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan dan cita-cita dengan baik. Adapun langkah-langkah itu sebagai berikut :
1. Mengenal
Mengenal merupakan suatu kodrat bagi manusia yaitu merupakan tahap pertama dari setiap aktivitas hidupnya yang dalam jal ini mengenal apa itu pandangan hidup. Tentunya kita yakin dan sadar bahwa setiap manusia itu pasti mempunyai pandangan hidup, maka kita dapat memastikan bahwa pandangan hidup itu ada sejak manusia itu ada, dan bahkan hidup itu ada sebelum manusia itu belum turun ke dunia.
2. Mengerti
Tahap kedua untuk berpandangan hidup yang baik adalah mengerti. Mengerti disini dimaksudkan mengerti terhadap pandangan hidup itu sendiri. Bila dalam bemegara kita berpandangan pada Pancasila, maka dalam berpandangan hidup pada Pancasila kita hendaknya mengerti apa Pancasila dan bagaimana mengatur kehidupan bemegara. Begitu juga bagai yang berpandangan hidup pada agama Islam. Hendaknya kita mengerti apa itu Al-Qur'an, Hadist dan ijmak itu dan bagaimana ketiganya itu mengatur kehidupan baik di dunia maupun di akherat.
3. Menghayati
Langkah selanjutnya setelah mengerti pandangan hidup adalah menghayati pandangan hidup itu. Dengan menghayati pandangan hidup kita memperoleh gambaran yang tepat dan benar mengenai kebenaran pandangan hdiup itu sendiri.
Menghayati disini dapat diibaratkan menghayati nilai-nilai yang terkandung didalamnya, yaitu dengan memperluas dan mernperdalam pengetahuan mengenai pandangan hidup itu sendiri. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam rangka menghayati ini, menganalisa hal-hal yang berhubungan dengan pandangan hidup, bertanya kepada orang yang dianggap lebih tahu dan lebih berpengalaman mengenai isi pandangan hidup itu atau mengenai pandangan hidup itu sendiri. Jadi dengan menghayati pandangan hidup kita akan memperoleh mengenai kebenaran tentang pandangan hidup itu sendiri.
4. Meyakini
Setelah mengetahui kebenaran dan validitas, baik secara kemanusiaan, maupun ditinjau dari segi kemasyarakatan maupun negara dan dari kehidupan di akherat, maka hendaknya kita meyakini pandangan hidup yang telah kita hayati itu. Meyakini ini merupakan suatu hal untuk cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga dapat mencapai suatu tujuan hidupnya.
5. Mengabdi
Pengabdian merupakan sesuatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu yang telah dibenarkan dan diterima baik oleh dirinya lebih-lebih oleh orang lain. Dengan mengabdi maka kita akan merasakan manfaalnya. Sedangkan perwujudan manfaat mengabdi ini dapat dirasakan oleh pribadi kita sendiri. Dan manfaat itu sendiri bisa terwujud di masa masih hidup dan atau sesudah meninggal yaitu di alam akherat.
6. Mengamankan
Mungkin sudah merupakan sifat manusia bahwa bila sudah mengabdikan din pada suatu pandangan hidup lalu ada orang lain yang mengganggu dan atau mayalahkannya tentu dia tidak menerima dan bahkan cendemng untuk mengadakan perlawanan. Hal ini karena kemungkinan merasakan bahwa dalam berpandangan hidup itu dia telah mengikuti langkah-langkah sebelumnya dan langkah-langkah yang ditempuhnya itu telah dibuktikan kebenarannya sehingga akibatnya bila ada orang lain yang mengganggunya maka dia pasti akan mengadakan suatu respon entah respon itu berwujud tindakan atau lainnya.
Hubungan Manusia dan Pandangan Hidup
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang diberikan akal dan pikiran, serta hati.secara
psikologi karakter manusia terbentuk dari tiga unsur, yaitu pikiran,
hati nurani, dan hawa nafsu.ketiganya ini harus barjalan dengan seimbang
dan saling mengendalikan satu sama lain untuk menjadikan karakter yang
baik pada manusia tersebut.Maka, manusia semasa hidupnyadalam setiap
pekerjaan dan kegiatannya selalu menggunakan ketiga unsur tersebut,sejak
dilahirkan, manusia tentu saja telah memilki karakter bawaan dari orang
tuanya, dan memiliki berbagai macam pengalaman semasa hidupanya samapi
dia dewasa. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pandangan hidup yang
berbada – beda pada setiap orang.
Pandangan
hidup adalah sikap manusia yang paling mendasar dalam menyikapi setiap
hal yang terjadi dalam hidupnya, baik itu berupa masalah, tugas,
tantangan dan segala yang dilakukannya manusia pasti mempunyai
pandangannya masing – masing. Saya sebagai makhluk Tuhan yang beragama
meyakini bahwa Tuhan itu ada,dan sangat berperan penting dalam
kehidupan.banyak hal – hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat
di dunia ini, karena memang hal tersebut tidak akan bisa kita pikirkan
dengan pikiran kita yang terbatas.hal inilah yang kita sebut sebagai
iman.banyak orang yang mempertanyakan tentang kepercayaan orang lain
yang tidak bisa diterima dengan akal sehatnya. Jawabannya adalah
iman.karena iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.sama halnya seperti
rasa sakit, cinta, dan kasih, yang kita tidak dapat mengetahui seperti
apa wujudnya, dan tidak dapat kita pikirkan dengan akal sehat tetapi
kita mempercayai keberadaan hal tersebut.
· Menurut asalnya pandangan hidup dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Pandangan hidup yang berasal dari agama,
2. Pandangan hidup yang berupa ideologi, dan
3. Pandangan hidup hasil renungan.
· Pandangan hidup terdiri dari 4 unsur antara lain :
1. Cita – Cita yang diinginkan dapat diraih dengan usaha dan perjuangan,
2. Berbuat baik dalam segala hal dapat membuat seseorang merasa bahagia, damai, dan tentram,
3. Usaha atau perjuangan adalah kerja keras yang dilandasi oleh keyakinan, dan
4. Keyakinan dan kepercayaan adalah hal yang terpenting dalam hidup manusia.
Dalam
perjuangan menuju kehidupan yang lebih sempurna, sebagai makhluk
Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia memerlukan nilai-nilai unsure yang
akan dianutnya sebagai pandangan hidup-nilai luhur adalah tolak ukur
kebaikan yang berkenan dengan hal-hal yang bersifat mendasar atau abadi
dalam hidup manusia. Seperti tentang cita-cita dan tujuan yang hendak
dicapai dalam hidup ini.
Lembaga Yang Mewujudkan Pandangan Hidup
Fungsi
lembaga-lembaga yang dibentuk manusia adalah sebagai instrument,
sarana, dan wahana untuk mewujudkan pandangan kehidupan adalah sekedar
merupakan konsepsi yang bersifat abstrak, tanpa daya untuk mewujudkan
dirinya dalam kenyataan.
Sebagai
makhluk sosial manusia tidaklah mungkin hidup menyendiri. Oleh karena
itu, setiap manusia pribadi hidup sebagai bagian dari lingkungan social
yang lebih luas, secara berturut-turut lingkungan keluarga, lingkungan
masyarakat dll.
Hubungan Pandangan Hidup Masyarakat.
Hubungan
pandangan mengenai kehidupan manusia dan masyarakat berdasarkan pada
pandangan tentang manusia. Pandangan tentang manusia ini di dasarkan
pada Pancasila. Dari sini dapat pula diartikan sebagai pandangan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hubungan inilah manusia
dapat hidup dan menghidupi. Manusia hidup dalam hubungan dengan Tuhannya
dan dalam perlindunganNya selamanya termasuk dengan lingkungan. Dengan
dan dalam kebudayaan dan serba hubungan menjadikan dunia dan lingkungan
lebih menyenangkan dan menjadikan hidup lebih baik.
Pandangan Hidup Berbangsa dan Bernegara
Konsep
bangsa yang digunakan untuk merumuskan sila ketiga terutama konsep E
Renan, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai keinginan bersama untuk
bersatu dan tetap mempertahankan persatuan,sedangkan factor-faktor yang
mendorong manusia ingin bersatu itu bermacam-macam. Dalam hal ini apa
yang digariskan oleh pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Negara Indonesia
ialah Negara kesatuan yang berbentuk republik.
Factor
pendorong kea rah persatuan yang ditekankan oleh WD ialah pendidikan,
budaya yang diatur dalam pasal 31ayat (2) pemerintah berusaha
menyelenggarakan suatu sistem penghujatan nasional yang diatur dengan
undang-undang.
Norma-norma
itulah yang harus di ikuti agar orang-orang Indonesia dapat hidup
berbangsa sesuai dengan pancasila dan menjalankan sila 3 yang wujudkan
pasal-pasal tersebut. Orang Indonesia tidak terlepas dari pasal-pasal
lain. Lewat hal ini pulalah kecintaan manusia kepada Indonesia kepada
bendera merah putih dan bahasa Indonesia dapat dikemukakan secara
intensif.
KESEDIHAN DAN HARAPAN
Ada seorang perempuan mungil sedang berjalan
menelusuri sepanjang jalan berdebu. Ia kelihatan tua, tapi raut wajahnya selalu
tersenyum, memancarkan cahaya terang bagaikan seorang gadis periang.
Perempuan tua itu kelihatan kurus kerempeng,
yang kemudian tiba-tiba berhenti melangkah di suatu tempat tak berpenghuni, ia
menunduk ke bawah, dan menatap ke arah bentuk menyerupai sosok tubuh, yang
sedang duduk berjongkok, bungkuk merunduk terbungkus debu. Ia tak bisa
mengenali lagi raut wajahnya. Ini mengingatkan dirinya pada kain sutra abu-abu
menyelimuti tubuh manusia. Perempuan mungil dan kecil itu lalu menghampiri
serta menyapanya dengan suara lembut, “Siapakah anda?”
Pancaran mata menatap hampa itu seperti
tak bernyawa, dan tampak lelah, “Aku? Kesedihan.” Bisiknya terbata-bata,
suaranya lembut berirama sendu hampir tak terdengar.
“Oh, kesedihan,” Jawab perempuan mungil itu dengan rasa penuh bahagia, seakan-akan mendengar ucapan dari seorang teman akrab yang telah dikenal lama.
“Oh, kesedihan,” Jawab perempuan mungil itu dengan rasa penuh bahagia, seakan-akan mendengar ucapan dari seorang teman akrab yang telah dikenal lama.
“Anda kenal saya?” Tanyanya curiga.
“Tentu saja aku tahu kau siapa, bukankah kau telah
membimbing sebagian jalan hidupku?
“Ya, tapi..” Kesedihan agak tergagap, “Mengapa kau tak tinggalkan saja aku sendiri disini?”
“Mengapa aku harus meninggalkanmu, sayangku? Bukankah kau telah mengetahuinya, bagaimana nasib hidup setiap pengungsi yang diasingkan? Sebenarnya aku ingin bertanya ke kau, mengapa kau tampaknya begitu putus asa?” Tanya perempuan tua itu dengan penuh perhatian, lalu ditatapnya mata kesedihan. Wajah yang dulu teduh dan tenang itu kini berurai air mata kesedihan.
“Ya, tapi..” Kesedihan agak tergagap, “Mengapa kau tak tinggalkan saja aku sendiri disini?”
“Mengapa aku harus meninggalkanmu, sayangku? Bukankah kau telah mengetahuinya, bagaimana nasib hidup setiap pengungsi yang diasingkan? Sebenarnya aku ingin bertanya ke kau, mengapa kau tampaknya begitu putus asa?” Tanya perempuan tua itu dengan penuh perhatian, lalu ditatapnya mata kesedihan. Wajah yang dulu teduh dan tenang itu kini berurai air mata kesedihan.
“Aku … Aku sedih,” jawab sosok berselimut abu itu,
suaranya bergetar menahan pedihnya Kesedihan.
Perempuan tua itu lalu duduk di
sampingnya, “Kau kelihatan begitu sedih,” katanya sambil mengangguk-nganggukkan
kepalanya dengan penuh perhatian dan pengertian, “Ceritakanlah apa yang membuat
kau begitu mendalam sedihnya.”
Kesedihan menghela napas dalam-dalam.
Terbersit dibenaknya, apakah kali ini memang ada orang yang benar-benar ingin
mendengarkan kisah keinginannya? begitu seringnya orang yang ditemuinya menjadi
harapan keinginan dirinya.
“Oh, kau tahu itu,..” ia mulai hati-hati
bercerita, “tak ada seorangpun yang menginginkanku. Ini sudah suratan hidupku,
hanya sejenak hadir diantara orang-orang yang ingin denganku. jika aku datang
menghampirinya, mereka itu seketika merasa takut, serta menghindarinya seperti
aku ini wabah penyakit menular… “.
Kesedihan itu menelan air ludahnya,
kemudian meneruskan tuturkatanya: “Mereka itu telah menciptakan kata-kata, yang
di ucapkan untuk orang-orang yang ingin mereka asingkan, katanya: “Ah, hidup
ini adalah sebuah pesta besar”, dan dengan kepalsuan tawa riangnya, menyebabkan
perut mereka jadi kejang-kejang atau menderita gangguan pernapasan, katanya,
“kekesalan membuat situasi semakin parah”
Namun kenyataannya mereka diserang sakit
jantung, lalu katanya “Anda harus tetap bersama-sama”, tetapi malah di bahu dan
punggung mereka terasa semakin sakit dan nyeri, kemudian katanya lagi,
“Ah..mengeluh dan menangis hanya orang yang lemah, akhirnya mereka harus
menahan air mata, yang membuat kepala mereka merasa hampir meledak karena
terjangkit penyakit migraine akut. Atau mereka malah di bikin mati rasa,
menjadi pecandu alkohol atau obat-obatan, sehingga mereka tidak lagi merasakan
aku.”
“Oh ya, orang-orang ini memang sering
kutemui” Jawab perempuan tua itu dengan penuh keyakinan akan penjelasan
Kesedihan.
Gejolak perasaan Kesedihan seperti semakin
tenggelam dalam ketidak berdayaanya,
“Padahal aku ini hanya ingin membantu orang lain. Bila aku sangat dekat dengannya, maka mereka itu bertemu dalam membangun rumah dirinya, dengan begitu mereka mampu menyembuhkan luka-lukanya sendiri. Sedih memiliki kulit sangat tipis, dan luka itu rasanya pedih serta menyakitkan. Penderitaan akan berlangsung lama, bila penyembuhan luka parahnya tidak ditangani sampai tuntas,”
“Padahal aku ini hanya ingin membantu orang lain. Bila aku sangat dekat dengannya, maka mereka itu bertemu dalam membangun rumah dirinya, dengan begitu mereka mampu menyembuhkan luka-lukanya sendiri. Sedih memiliki kulit sangat tipis, dan luka itu rasanya pedih serta menyakitkan. Penderitaan akan berlangsung lama, bila penyembuhan luka parahnya tidak ditangani sampai tuntas,”
Sejenak Kesedihan memandang Perempuan Tua
itu, dan menatapnya sedih dengan penuh kekecewaan,
“Ugh..padahal siapa yang mau kubantu, yang
tidak menangis akan menjadi nangis sampai mengeluarkan airmata, dengan begitu
lukanya benar-benar bisa sembuh. Tapi bagi orang-orang yang tidak ingin
kubantu, sebaliknya, malah mentertawakanku dengan bekas luka mereka yang masih
memberkas, atau bahkan mereka penjarakan aku dengan lapisan baju besi masa
lalunya, penuh dengan penderitaan sangat pahit rasanya…” Kesedihan tiba-tiba
terdiam.
Suasana terasa menjadi hening dan
mencekam, tak lama kemudian terdengar suara isak tangis Kesedihan. Menangis
memang awalnya lemah, namun bisa menguat sampai akhirnya putus asa. Perempuan
tua itu lantas mendekatkan tubuh sosok Kesedihan, dirangkulnya dalam
pelukannya, lalu dihiburnya Kesedihan dengan kelembutan belaian sentuhannya,
serasa dalam jiwa getaran keinginan dari tumpuhan harapannya.
“Menangislah, sedih,” bisiknya penuh kasih
sayang. “Ketenangan akan memberimu kekuatan baru, mulai saát ini kau tak akan
sendirian. Aku akan memandumu sampai putus asamu tidak lagi berkuasa dalam
dirimu.”
Kesedihan tiba-tiba berhenti menangis. Ia
duduk dan memandang teman barunya dengan heran, “Tapi ….. tapi .. siapakah
kau?”
“Aku?” Tanyanya kembali pada Kesedihan,
tiba tiba rambut Perempuan mungil dan tua itu kelihatan semakin memutih, yang
kemudian ia tersenyum cerah bagaikan gadis muda yang periang, lalu jawabnya
ceria “Aku, adalah Harapan.”
***
Ketulusan yang Berbuah Cita-cita
“Elo duluan
ajah!”
Andre
tersenyum tajam. Membuat saya semakin bingung harus berkata apa lagi.
Sebenarnya saya merasa berat sekali mengatakan hal ini. Andre menatap saya
dingin. Sedingin retakan es yang berkumparan terapung di permukaan Artik. Bak
memandamkan matahari, saya menahan emosi yang hampir saja membludak. Andai saja
samudera dapat saya kuras, saya akan menumpahkan isinya pada sesorang yang
mematung paksa di hadapan saya.
Jika seluruh
mata memandang kami, mereka pasti mengatakan “Wah... couple yang serasi ya?! Akur!” padahal saya sendiri
menganggapnya great rival. Ya... kami
terlahir di tempat, hari dan dari dalam rahim yang sama. Kami kembar.
Saya kembali
mengulang kata-kata saya barusan.
“Elo duluan
ajah! Gue bisa taon depan. Nggak usah
khawatir, gue nggak keberatan!” dengan berusaha menarik kedua ujung bibir saya,
saya melemparkan senyum terhangat saya padanya. Memang terlihat terpaksa.
“Enggak, Ndra!
Gue udah pernah bilang sama lo, apapun yang terjadi kita harus bareng! Gue ikhlas, Ndra. Lulus kuliah taon depan, nggak masalah!” senyumnya
masih melekat kuat di wajah tegasnya. Sebenarnya wajah saya juga tidak kalah
tegas. Dia itu cakep, saya juga cakep. Toh
kami ini kembar. Hohoho...
Saya sedikit
heran dengan kebiasaan kami yang juga kembar. Kami terlihat akrab dan saling
sapa satu sama lain. Saling tersenyum dan saling membantu. Walau sosialisasi
antara kami seperti itu, tapi sebenarnya dalam hati, kami saling bersaing.
Senyum ya senyum. Tapi jika hati kami bermata, kami akan saling menatap tajam
bak elang. Namanya juga great rival.
Sudah wajar seperti itu. Namun kami bisa menutupinya dengan amat sangat
‘sempurna’.
“Enggak bisa gitu dong, Ndre! Lo kan udah beres. Skripsi lo udah di tangan pembina
lo. Tinggal tunggu kapan lo kepanggil. Masa cuma gara-gara pembina gue pergi,
lo mau tarik kembali skripsi lo? Kasian Nyokap, Ndre! Bisa stres dia ngeliat
kita yang belum lulus S1 ni taon.
Barengan lagi!”
“Lo inget do’a
Emak?”
Oke. Saya memang
selalu membanding-bandingkan kelebihan dan kekurangan saya dengannya. Tapi
jujur saja, hampir tak ada bedanya. Sifat dan kelebihan kami dalam bidang
sosialisasi, akademik formal juga non-formal dan seni pun serupa. Kami
bersekolah di sebuah pondok pesantren yang sangat populer di Jawa Timur. Yang
mencetak puluhan ribu alumni sukses yang beberapa puluhnya sudah sangat
familiar di telinga seluruh rakyat Indonesia. Dan dengan harapan agar kami
dapat mengikuti jejak mereka, Ibu kami pun memasukkan kami di pondok pesantren
tersebut.
Tujuan utamanya
bukan agar kami sukses seperti mereka. Ibu hanya ingin agar kami dapat
mempelajari, mendalami dan mengamalkan ilmu agama yang kami ambil disana 24 jam
non-stop. Karena sebelum kami lulus
dari lembaga pendidikan islam bertaraf Internasional itu, kami sulit untuk
saling akur. Terkadang bertengkar. Kebanyakan diam-diaman. Jarang sekali ada
yang mau mengalah.
Tapi sekarang...
jrengggg!!! Semuanya berbalik 360
derajat. Ehh... 180 derajat.
Jangankan mengalah, saling mendahulukan untuk yang membutuhkan pun tak jarang.
Bahkan sampai nada kami meninggi karena tak ada yang mau menerima, keduanya
ingin selalu berbagi dan peduli. Aneh memang.
Setelah lulus
SD, Ibu tak sungkan ‘menyeret’ kami untuk mendaftar di pondok pesantren
tersebut. Walau sebenarnya kami tahu, Ibu amat sedih karena kami tak lagi
tinggal seatap dengannya kala itu. Karena hanya kami anak Ibu, sedangkan Ayah
sudah lama meninggal. Dan kini kami masih menetap di lembaga pendidikan itu
sampai saat ini. Untuk menyelesaikan gelar sarjana kami di Universitas yang
dibangun oleh pondok pesantren tersebut.
Ibu selalu
berdo’a di setiap detik jika bayangan kami terlukis di kanvas pikirannya, agar
Allah selalu memberikan dua kesempatan yang sama pada kami. Jika saya mendapat
nilai sepuluh, dia pun harus sepuluh. Mungkin Ibu tahu, saya dan dia sama-sama
berwatak keras.
Do’a Ibu pun
dipelihara oleh Sang Penentu Takdir. Setiap ada masalah, kami pasti terlibat
bersamaan, sengaja mau pun tak disengaja. Selama niat banding-membandingi
terlintas, kejadian itu selalu membentur dinding kehidupan kami.
“Gue ikut lo ni taon. Kita berhenti bareng dan bakal
lulus bareng. Allah lebih tahu. Gue juga udah mikirin hal ini mateng-mateng.
Kita kuliah bukan buat maen-maen kan, Ndra?”
Jujur. Saya
tersinggung. Tapi tepatnya juga bersyukur berkembaran dengannya. Bersaudara-lah intinya. Skripsi yang sudah saya
susun memang bermasalah. Bukan. Bukan pada konteks skripsinya, namun pada
pelengkap terbentuknya skirpsi sungguhan. Maksud saya pada penyelesaian S1 ini.
Dosen pembina saya mendadak bertugas ke luar negri dan ia membawa srikpsi saya.
Sudah puluhan kali saya berniat untuk memohon pada rektor agar diberikan
toleransi atau apalah namanya. Namun percuma saja. Toh skripsi saya dibawanya.
Saya sudah
menghubungi dosen pembina saya. Namun ia pun minta maaf, beliau kembali dua
bulan mendatang ke Indonesia. Awalnya saya terpikir untuk menyarankan beliau
agar mengirimkan saja lewat pos kilat atau semacam itu. Hanya saja itu tak
mungkin.
Karena sidang
kelulusan akan berakhir pekan ini. Dua hari lagi.
“Gue ikhlas,
Ndra! Lo jangan mikir yang macem-macem ya?” dia tersenyum. Tulus.
Mulai saat itu,
saya bertekad. Gue harus lulus ni taon!
ṧṧṧ
Allahumma inni as-aluka, an taj’ala kulla
qodhooin, qodhoitahu lii khoir! Ya Allah, saya memohon padamu, agar Engkau
menjadikan seluruh perkara takdir yang telah Engkau takdirkan kepadaku, baik
untukku!
Itulah
do’a saya yang terus terlantunkan di recorder
otak saya. Sebuah do’a yang pernah saya rekam dari seorang guru bijak ketika
saya duduk di kelas 6. Di pondok pesantren saya kelas 6 itu kelas tertinggi.
Jika disetarakan dengan lembaga pendidikan negeri, kelas 6 itu sama dengan
kelas XII, kelas 3 SMA. Beliau selalu berbagi pengalaman bermanfaat yang
disertai do’a terhadap murid-muridnya.
Kini
saya berada dalam sebuah bus kota. Niat saya untuk lulus tahun ini bersama
‘dia’ –yang malas saya sebut namanya- membuat saya berniat kuat untuk melakukan
apapun. Beberapa teman menyarankan agar saya mencoba berunding dengan
dosen-dosen yang akan berangkat ke Pakistan, dimana dosen pembina saya menetap
di tempat itu. Dengan tekad yang dibulat-bulatkan –karena saya juga merasa
terpaksa- saya pun menuju pondok pesantren putri. Beberapa dosen saya bertempat
tinggal disana. Termasuk Dekan fakultas saya.
Namun
sang tokoh utama dalam penggerakan tekad lulus saya adalah ‘dia’ dan Ibu.
Bayangan mereka laksana nuansa gemintang seluk-beluk batin saya. Abadi bak
rembulan malam yang terlukis antara langit dan permukaan bumi. Saya tidak
pernah berpikir untuk mengecewakan mereka. Dunia akhirat. Do’a Ibu pun menyapu
kembali pikiran saya.
Suatu
bukti akurat atas terciptanya kuasa Allah akan do’a Ibu, ketika saya dan ‘dia’
mengikuti ujian masuk di pondok pesantren itu. Kami lulus dan berada di kelas
teratas. Bersamaan.
Di
kelas pemula, kami bersaing apa adanya. Tidak terlalu terobsesi akan prestasi.
Namun kami tergugah saat kami mendengar pengumuman bahwa akan diadakan ujian
untuk loncat kelas. Dari kelas satu, akan berada di kelas tiga. Saya pun
melirik ‘dia’. Sebuah kode dari saya berhasil ditangkapnya dengan sempurna.
“Lo
ikut?” tanyanya setelah menghirup udara luar kelas.
“Apa
salahnya mencoba” saya sok cuek.
“Kalo
salah satu di antara kita nggak lulus?”
“Itu
resiko!” ucap saya ketus.
Dan
mulai lah kami menabuh genderang perang itu. Kami pun meminta restu Ibu. Ibu
hanya mengatakan “Allah bersamamu, Nak”. Sekejap hati kami luluh.
Seminggu
setelah ujian loncatan itu berlangsung, sebuah kertas folio tertempel bangga di
papan-papan pengumuman. Di antara kurang-lebih 70 peserta, hanya 14 yang
mengikuti syarat. Artinya hanya 14 siswa yang lulus. Siswa di angkatan kami,
kelas satu berjumlah 740. Dan yang merasa ‘pintar’ lalu mengikuti ujian
loncatan tersebut hanya 70-an.
Andra Hendrawan dan Andre Hendrawan. Dua
nama itu saja yang meruntuhkan kokohnya tiang rasa bersaing antara saya dan
‘dia’. Ternyata Ibu benar.
Allah
mengabulkan do’a tulus Ibu.
Kembali
saya ceritakan perjalanan saya menemui Dekan. Jarak yang cukup jauh
mengharuskan saya untuk berlama-lama dalam bus ini. AC yang sengaja ‘dipermak’
minim terkadang menggelitik nurani saya untuk mengutuk-ngutuk bus ini. Panas sekali...
Bus
itu pun berhenti di terminal.
“Tahu
Sumedang, Mas! Hanya dua ribu!” seorang penjaja makanan menghampiri penumpang
yang mulai mengosongi volume bus. Saya pun ikut turun.
“Monggo, Mas! Yang ini masih panas”
yakinnya pada beberapa penumpang yang turun. Tak ada yang peduli. Semuanya
mengabaikan. Sekejap tatapan saya seakan pudar. Bayangan skripsi yang belum
kelar itu berotasi dengan sempurna di otak saya. Ya Allah... mudahkan jalan hamba-Mu!
Saya
menoleh ke arah wanita tua yang menawarkan buahannya. Pakaiannya lusuh. Matanya
sayu. Tubuh kurusnya dililit kulit keriput berdaging tipis. Tidak tega saya
melihatnya berlari tergopoh di bawah teriknya mentari pertengahan siang.
Terlintas pula usaha gigihnya wanita itu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu
yang saya pikirkan, kemana anak ibu ini?
Saya
mengecek dompet pemberian ‘dia’ ketika saya berulang tahun. Tinggal empat puluh ribu! Saya pun
mengurung niat putih yang sempat hinggap.
“Tahu,
Mas?”
Saya
tak dapat menyembunyikan rasa prihatin itu, bayangan Ibu menerangi pandangan
saya. “Berapa satu?” tiba-tiba kalimat itu terlontar.
“Dua
ribu, monggo!” ia tersenyum senang.
“Seribu
saja, ya?” tawar saya menguji.
“Mas
mau beli berapa?”
“Saya
beli tiga!”
Terlihat
ia berpikir lama, “Yo wes, empat ribu
saya kasih tiga!” ada gurat kecewa.
Saya
mengeluarkan dompet saya, uang sepuluh ribu saya sodorkan “Ini buat Ibu saja!
Nggak usah kembalian! Saya minta do’a biar skripsi saya dimudahkan oleh-Nya”
senyum saya tulus. Dan saya pun meninggalkannya tanpa mengambil Tahu Sumendang
yang ia tawarkan.
Ibu
itu tersenyum “Terima kasih, Mas! Gusti Allah memudahkannya!” ia berkomat-kamit
sambil menatap langit. Ada butiran di ujung kelopak matanya.
Bagi
saya uang sepuluh ribu tak begitu berarti. Namun berbeda bagi mereka yang amat
sangat sulit meraih upah dalam sehari. Untuk pedagang seperti ibu tadi, ada
yang membeli saja sudah bersyukur.
“Melon,
Mas?”
Suara
itu mengagetkan saya. Saya pun menoleh. Tersenyum. Bagaimana ini? Uang tinggal tiga puluh ribu. Ongkos pulang...
“Manis,
Mas!” ia tersenyum yakin.
Sebenarnya
saya tidak begitu tertarik, di samping itu...
“Ini
buat ibu saja! Saya minta do’a agar skripsi saya dimudahkan oleh-Nya” Ya Allah... bantu hamba! Saya kembali
tersenyum.
Pedagang
itu menatap bahagia. Sikap serupa dengan wanita tua tadi, ibu ini mendo’akan
saya sedetik setelah selembar uang sepuluh ribu saya berikan.
Saya
pun berlalu. Hanya saja...
“Hei...
ke Mas yang itu! Mas yang pakai baju biru itu baik lho!” teriak seseorang di belakang saya. Mendadak saya terhenti,
merasa seruan tadi tertuju pada saya yang berbaju biru. Saya menoleh...
Apa?
Beberapa
pedagang tua berkerumun di belakang saya.
Bagaimana ini?
ṧṧṧ
Allah
mendengar do’a dan niat tulus saya. Dengan sisa uang yang saya miliki kemarin,
saya membagikannya. Seluruhnya. Dengan niat agar Allah memudahkan perkara ini.
Perkara yang sempat menginjak jiwa juang saya, sehingga saya tersungkur perih
dalam curamnya jurang putus asa. Namun kini, semuanya sehangat mentari.
“Ndra,
kita telpon Ibu ya?”
Saya
mengangguk sambil tersenyum. Menatap ‘dia’ yang juga tersenyum. Bahagia.
Saya
pun mengerti. Rasa peduli akan memberi sebagian harta untuk orang yang lebih
membutuhkan membuahkan kemudahan saya dalam menggapai cita-cita. Ketulusan yang
saya genggam, yang Ibu simpan dan yang ‘dia’ berikan, membuat kesempitan yang
menghimpit urusan saya menjadi lapang. Allah menilai segala usaha hamba-Nya.
Dosen
pembina tersebut ternyata menitipkan skripsi saya pada seorang mahasiswa
yang berpulang ke Indonesia. Tepat
ketika saya kembali dari usaha saya menemui dekan. Mahasiswa Pakistan itu
adalah salah satu calon dosen yang akan mengajar pada Universitas di pondok
pesantren saya. Seketika saya bersujud syukur pada Sang Investor Kehidupan.
Mudah
sekali Allah membantu hamba-Nya yang kesusahan. Sebagaimana mudahnya Dia
membuat soal ujian yang amat sangat rumit. Semuanya tergantung do’a, niat,
usaha dan keikhlasan manusia dalam menjalankan ujian tersebut. Allah Maha
Mendengar dan Melihat.
Kala
itu, saya dan ‘dia’ pun meraih gelar sarjana yang kami cita-citakan dalam
tempat, suasana, detik dan rasa bahagia yang sama.
ṧṧṧ
Langganan:
Postingan (Atom)