Sabtu, 19 Januari 2013



KESEDIHAN DAN HARAPAN

Ada seorang perempuan mungil sedang berjalan menelusuri sepanjang jalan berdebu. Ia kelihatan tua, tapi raut wajahnya selalu tersenyum, memancarkan cahaya terang bagaikan seorang gadis periang.
Perempuan tua itu kelihatan kurus kerempeng, yang kemudian tiba-tiba berhenti melangkah di suatu tempat tak berpenghuni, ia menunduk ke bawah, dan menatap ke arah bentuk menyerupai sosok tubuh, yang sedang duduk berjongkok, bungkuk merunduk terbungkus debu. Ia tak bisa mengenali lagi raut wajahnya. Ini mengingatkan dirinya pada kain sutra abu-abu menyelimuti tubuh manusia. Perempuan mungil dan kecil itu lalu menghampiri serta menyapanya dengan suara lembut, “Siapakah anda?”
Pancaran mata menatap hampa itu seperti tak bernyawa,  dan tampak lelah, “Aku? Kesedihan.” Bisiknya terbata-bata, suaranya lembut berirama sendu hampir tak terdengar.
“Oh, kesedihan,” Jawab perempuan mungil itu dengan rasa penuh bahagia, seakan-akan mendengar ucapan dari seorang teman akrab yang telah dikenal lama.
“Anda kenal saya?” Tanyanya curiga.
“Tentu saja aku tahu kau siapa, bukankah kau telah membimbing sebagian jalan hidupku?
“Ya, tapi..” Kesedihan agak tergagap, “Mengapa kau tak tinggalkan saja aku sendiri disini?”
“Mengapa aku harus meninggalkanmu, sayangku? Bukankah kau telah mengetahuinya, bagaimana nasib hidup setiap pengungsi yang diasingkan? Sebenarnya aku ingin bertanya ke kau, mengapa kau tampaknya begitu putus asa?” Tanya perempuan tua itu dengan penuh perhatian, lalu ditatapnya mata kesedihan. Wajah yang dulu teduh dan tenang itu kini berurai air mata kesedihan.
“Aku … Aku sedih,” jawab sosok berselimut abu itu, suaranya bergetar menahan pedihnya Kesedihan.
Perempuan tua itu lalu duduk di sampingnya, “Kau kelihatan begitu sedih,” katanya sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya dengan penuh perhatian dan pengertian, “Ceritakanlah apa yang membuat kau begitu mendalam sedihnya.”
Kesedihan menghela napas dalam-dalam. Terbersit dibenaknya, apakah kali ini memang ada orang yang benar-benar ingin mendengarkan kisah keinginannya? begitu seringnya orang yang ditemuinya menjadi harapan keinginan dirinya.
“Oh, kau tahu itu,..” ia mulai hati-hati bercerita, “tak ada seorangpun yang menginginkanku. Ini sudah suratan hidupku, hanya sejenak hadir diantara orang-orang yang ingin denganku. jika aku datang menghampirinya, mereka itu seketika merasa takut, serta menghindarinya seperti aku ini wabah penyakit menular… “.
Kesedihan itu menelan air ludahnya, kemudian meneruskan tuturkatanya: “Mereka itu telah menciptakan kata-kata, yang di ucapkan untuk orang-orang yang ingin mereka asingkan, katanya: “Ah, hidup ini adalah sebuah pesta besar”, dan dengan kepalsuan tawa riangnya, menyebabkan perut mereka jadi kejang-kejang atau menderita gangguan pernapasan, katanya, “kekesalan membuat situasi semakin parah”
Namun kenyataannya mereka diserang sakit jantung, lalu katanya “Anda harus tetap bersama-sama”, tetapi malah di bahu dan punggung mereka terasa semakin sakit dan nyeri, kemudian katanya lagi, “Ah..mengeluh dan menangis hanya orang yang lemah, akhirnya mereka harus menahan air mata, yang membuat kepala mereka merasa hampir meledak karena terjangkit penyakit migraine akut. Atau mereka malah di bikin mati rasa, menjadi pecandu alkohol atau obat-obatan, sehingga mereka tidak lagi merasakan aku.”
“Oh ya, orang-orang ini memang sering kutemui” Jawab perempuan tua itu dengan penuh keyakinan akan penjelasan Kesedihan.
Gejolak perasaan Kesedihan seperti semakin tenggelam dalam ketidak berdayaanya,
“Padahal aku ini hanya ingin membantu orang lain. Bila aku sangat dekat dengannya, maka mereka itu bertemu dalam membangun rumah dirinya, dengan begitu mereka mampu menyembuhkan luka-lukanya sendiri. Sedih memiliki kulit sangat tipis, dan luka itu rasanya pedih serta menyakitkan. Penderitaan akan berlangsung lama, bila penyembuhan luka parahnya tidak ditangani sampai tuntas,”
Sejenak Kesedihan memandang Perempuan Tua itu, dan menatapnya sedih dengan penuh kekecewaan,
“Ugh..padahal siapa yang mau kubantu, yang tidak menangis akan menjadi nangis sampai mengeluarkan airmata, dengan begitu lukanya benar-benar bisa sembuh. Tapi bagi orang-orang yang tidak ingin kubantu, sebaliknya, malah mentertawakanku dengan bekas luka mereka yang masih memberkas, atau bahkan mereka penjarakan aku dengan lapisan baju besi masa lalunya, penuh dengan penderitaan sangat pahit rasanya…” Kesedihan tiba-tiba terdiam.
Suasana terasa menjadi hening dan mencekam, tak lama kemudian terdengar suara isak tangis Kesedihan. Menangis memang awalnya lemah, namun bisa menguat sampai akhirnya putus asa. Perempuan tua itu lantas mendekatkan tubuh sosok Kesedihan, dirangkulnya dalam pelukannya, lalu dihiburnya Kesedihan dengan kelembutan belaian sentuhannya, serasa dalam jiwa getaran keinginan dari tumpuhan harapannya.
“Menangislah, sedih,” bisiknya penuh kasih sayang. “Ketenangan akan memberimu kekuatan baru, mulai saát ini kau tak akan sendirian. Aku akan memandumu sampai putus asamu tidak lagi berkuasa dalam dirimu.”
Kesedihan tiba-tiba berhenti menangis. Ia duduk dan memandang teman barunya dengan heran, “Tapi ….. tapi .. siapakah kau?”
“Aku?” Tanyanya kembali pada Kesedihan, tiba tiba rambut Perempuan mungil dan tua itu kelihatan semakin memutih, yang kemudian ia tersenyum cerah bagaikan gadis muda yang periang, lalu jawabnya ceria “Aku, adalah Harapan.”
***


Ketulusan yang Berbuah Cita-cita



“Elo duluan ajah!”
            Andre tersenyum tajam. Membuat saya semakin bingung harus berkata apa lagi. Sebenarnya saya merasa berat sekali mengatakan hal ini. Andre menatap saya dingin. Sedingin retakan es yang berkumparan terapung di permukaan Artik. Bak memandamkan matahari, saya menahan emosi yang hampir saja membludak. Andai saja samudera dapat saya kuras, saya akan menumpahkan isinya pada sesorang yang mematung paksa di hadapan saya.
Jika seluruh mata memandang kami, mereka pasti mengatakan “Wah... couple yang serasi ya?! Akur!” padahal saya sendiri menganggapnya great rival. Ya... kami terlahir di tempat, hari dan dari dalam rahim yang sama. Kami kembar.
Saya kembali mengulang kata-kata saya barusan.
“Elo duluan ajah! Gue bisa taon depan. Nggak usah khawatir, gue nggak keberatan!” dengan berusaha menarik kedua ujung bibir saya, saya melemparkan senyum terhangat saya padanya. Memang terlihat terpaksa.
“Enggak, Ndra! Gue udah pernah bilang sama lo, apapun yang terjadi kita harus bareng! Gue ikhlas, Ndra. Lulus kuliah taon depan, nggak masalah!” senyumnya masih melekat kuat di wajah tegasnya. Sebenarnya wajah saya juga tidak kalah tegas. Dia itu cakep, saya juga cakep. Toh kami ini kembar. Hohoho...
Saya sedikit heran dengan kebiasaan kami yang juga kembar. Kami terlihat akrab dan saling sapa satu sama lain. Saling tersenyum dan saling membantu. Walau sosialisasi antara kami seperti itu, tapi sebenarnya dalam hati, kami saling bersaing. Senyum ya senyum. Tapi jika hati kami bermata, kami akan saling menatap tajam bak elang. Namanya juga great rival. Sudah wajar seperti itu. Namun kami bisa menutupinya dengan amat sangat ‘sempurna’.
 “Enggak bisa gitu dong, Ndre! Lo kan udah beres. Skripsi lo udah di tangan pembina lo. Tinggal tunggu kapan lo kepanggil. Masa cuma gara-gara pembina gue pergi, lo mau tarik kembali skripsi lo? Kasian Nyokap, Ndre! Bisa stres dia ngeliat kita yang belum lulus S1 ni taon. Barengan lagi!”
“Lo inget do’a Emak?”
Oke. Saya memang selalu membanding-bandingkan kelebihan dan kekurangan saya dengannya. Tapi jujur saja, hampir tak ada bedanya. Sifat dan kelebihan kami dalam bidang sosialisasi, akademik formal juga non-formal dan seni pun serupa. Kami bersekolah di sebuah pondok pesantren yang sangat populer di Jawa Timur. Yang mencetak puluhan ribu alumni sukses yang beberapa puluhnya sudah sangat familiar di telinga seluruh rakyat Indonesia. Dan dengan harapan agar kami dapat mengikuti jejak mereka, Ibu kami pun memasukkan kami di pondok pesantren tersebut.
Tujuan utamanya bukan agar kami sukses seperti mereka. Ibu hanya ingin agar kami dapat mempelajari, mendalami dan mengamalkan ilmu agama yang kami ambil disana 24 jam non-stop. Karena sebelum kami lulus dari lembaga pendidikan islam bertaraf Internasional itu, kami sulit untuk saling akur. Terkadang bertengkar. Kebanyakan diam-diaman. Jarang sekali ada yang mau mengalah.
Tapi sekarang... jrengggg!!! Semuanya berbalik 360 derajat. Ehh... 180 derajat. Jangankan mengalah, saling mendahulukan untuk yang membutuhkan pun tak jarang. Bahkan sampai nada kami meninggi karena tak ada yang mau menerima, keduanya ingin selalu berbagi dan peduli. Aneh memang.
Setelah lulus SD, Ibu tak sungkan ‘menyeret’ kami untuk mendaftar di pondok pesantren tersebut. Walau sebenarnya kami tahu, Ibu amat sedih karena kami tak lagi tinggal seatap dengannya kala itu. Karena hanya kami anak Ibu, sedangkan Ayah sudah lama meninggal. Dan kini kami masih menetap di lembaga pendidikan itu sampai saat ini. Untuk menyelesaikan gelar sarjana kami di Universitas yang dibangun oleh pondok pesantren tersebut.
Ibu selalu berdo’a di setiap detik jika bayangan kami terlukis di kanvas pikirannya, agar Allah selalu memberikan dua kesempatan yang sama pada kami. Jika saya mendapat nilai sepuluh, dia pun harus sepuluh. Mungkin Ibu tahu, saya dan dia sama-sama berwatak keras.
Do’a Ibu pun dipelihara oleh Sang Penentu Takdir. Setiap ada masalah, kami pasti terlibat bersamaan, sengaja mau pun tak disengaja. Selama niat banding-membandingi terlintas, kejadian itu selalu membentur dinding kehidupan kami.
“Gue ikut lo ni taon. Kita berhenti bareng dan bakal lulus bareng. Allah lebih tahu. Gue juga udah mikirin hal ini mateng-mateng. Kita kuliah bukan buat maen-maen kan, Ndra?”
Jujur. Saya tersinggung. Tapi tepatnya juga bersyukur berkembaran dengannya. Bersaudara-lah intinya. Skripsi yang sudah saya susun memang bermasalah. Bukan. Bukan pada konteks skripsinya, namun pada pelengkap terbentuknya skirpsi sungguhan. Maksud saya pada penyelesaian S1 ini. Dosen pembina saya mendadak bertugas ke luar negri dan ia membawa srikpsi saya. Sudah puluhan kali saya berniat untuk memohon pada rektor agar diberikan toleransi atau apalah namanya. Namun percuma saja. Toh skripsi saya dibawanya.
Saya sudah menghubungi dosen pembina saya. Namun ia pun minta maaf, beliau kembali dua bulan mendatang ke Indonesia. Awalnya saya terpikir untuk menyarankan beliau agar mengirimkan saja lewat pos kilat atau semacam itu. Hanya saja itu tak mungkin.
Karena sidang kelulusan akan berakhir pekan ini. Dua hari lagi.
“Gue ikhlas, Ndra! Lo jangan mikir yang macem-macem ya?” dia tersenyum. Tulus.
Mulai saat itu, saya bertekad. Gue harus lulus ni taon!
ṧṧṧ
            Allahumma inni as-aluka, an taj’ala kulla qodhooin, qodhoitahu lii khoir! Ya Allah, saya memohon padamu, agar Engkau menjadikan seluruh perkara takdir yang telah Engkau takdirkan kepadaku, baik untukku!
            Itulah do’a saya yang terus terlantunkan di recorder otak saya. Sebuah do’a yang pernah saya rekam dari seorang guru bijak ketika saya duduk di kelas 6. Di pondok pesantren saya kelas 6 itu kelas tertinggi. Jika disetarakan dengan lembaga pendidikan negeri, kelas 6 itu sama dengan kelas XII, kelas 3 SMA. Beliau selalu berbagi pengalaman bermanfaat yang disertai do’a terhadap murid-muridnya.
            Kini saya berada dalam sebuah bus kota. Niat saya untuk lulus tahun ini bersama ‘dia’ –yang malas saya sebut namanya- membuat saya berniat kuat untuk melakukan apapun. Beberapa teman menyarankan agar saya mencoba berunding dengan dosen-dosen yang akan berangkat ke Pakistan, dimana dosen pembina saya menetap di tempat itu. Dengan tekad yang dibulat-bulatkan –karena saya juga merasa terpaksa- saya pun menuju pondok pesantren putri. Beberapa dosen saya bertempat tinggal disana. Termasuk Dekan fakultas saya.
            Namun sang tokoh utama dalam penggerakan tekad lulus saya adalah ‘dia’ dan Ibu. Bayangan mereka laksana nuansa gemintang seluk-beluk batin saya. Abadi bak rembulan malam yang terlukis antara langit dan permukaan bumi. Saya tidak pernah berpikir untuk mengecewakan mereka. Dunia akhirat. Do’a Ibu pun menyapu kembali pikiran saya.
            Suatu bukti akurat atas terciptanya kuasa Allah akan do’a Ibu, ketika saya dan ‘dia’ mengikuti ujian masuk di pondok pesantren itu. Kami lulus dan berada di kelas teratas. Bersamaan.
            Di kelas pemula, kami bersaing apa adanya. Tidak terlalu terobsesi akan prestasi. Namun kami tergugah saat kami mendengar pengumuman bahwa akan diadakan ujian untuk loncat kelas. Dari kelas satu, akan berada di kelas tiga. Saya pun melirik ‘dia’. Sebuah kode dari saya berhasil ditangkapnya dengan sempurna.
            “Lo ikut?” tanyanya setelah menghirup udara luar kelas.
            “Apa salahnya mencoba” saya sok cuek.
            “Kalo salah satu di antara kita nggak lulus?”
            “Itu resiko!” ucap saya ketus.
            Dan mulai lah kami menabuh genderang perang itu. Kami pun meminta restu Ibu. Ibu hanya mengatakan “Allah bersamamu, Nak”. Sekejap hati kami luluh.
            Seminggu setelah ujian loncatan itu berlangsung, sebuah kertas folio tertempel bangga di papan-papan pengumuman. Di antara kurang-lebih 70 peserta, hanya 14 yang mengikuti syarat. Artinya hanya 14 siswa yang lulus. Siswa di angkatan kami, kelas satu berjumlah 740. Dan yang merasa ‘pintar’ lalu mengikuti ujian loncatan tersebut hanya 70-an.
            Andra Hendrawan dan Andre Hendrawan. Dua nama itu saja yang meruntuhkan kokohnya tiang rasa bersaing antara saya dan ‘dia’. Ternyata Ibu benar.
            Allah mengabulkan do’a tulus Ibu.
            Kembali saya ceritakan perjalanan saya menemui Dekan. Jarak yang cukup jauh mengharuskan saya untuk berlama-lama dalam bus ini. AC yang sengaja ‘dipermak’ minim terkadang menggelitik nurani saya untuk mengutuk-ngutuk bus ini. Panas sekali...
            Bus itu pun berhenti di terminal.
            “Tahu Sumedang, Mas! Hanya dua ribu!” seorang penjaja makanan menghampiri penumpang yang mulai mengosongi volume bus. Saya pun ikut turun.
            Monggo, Mas! Yang ini masih panas” yakinnya pada beberapa penumpang yang turun. Tak ada yang peduli. Semuanya mengabaikan. Sekejap tatapan saya seakan pudar. Bayangan skripsi yang belum kelar itu berotasi dengan sempurna di otak saya. Ya Allah... mudahkan jalan hamba-Mu!
            Saya menoleh ke arah wanita tua yang menawarkan buahannya. Pakaiannya lusuh. Matanya sayu. Tubuh kurusnya dililit kulit keriput berdaging tipis. Tidak tega saya melihatnya berlari tergopoh di bawah teriknya mentari pertengahan siang. Terlintas pula usaha gigihnya wanita itu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu yang saya pikirkan, kemana anak ibu ini?
            Saya mengecek dompet pemberian ‘dia’ ketika saya berulang tahun. Tinggal empat puluh ribu! Saya pun mengurung niat putih yang sempat hinggap.
            “Tahu, Mas?”
            Saya tak dapat menyembunyikan rasa prihatin itu, bayangan Ibu menerangi pandangan saya. “Berapa satu?” tiba-tiba kalimat itu terlontar.
            “Dua ribu, monggo!” ia tersenyum senang.
            “Seribu saja, ya?” tawar saya menguji.
            “Mas mau beli berapa?”
            “Saya beli tiga!”
            Terlihat ia berpikir lama, “Yo wes, empat ribu saya kasih tiga!” ada gurat kecewa.
            Saya mengeluarkan dompet saya, uang sepuluh ribu saya sodorkan “Ini buat Ibu saja! Nggak usah kembalian! Saya minta do’a biar skripsi saya dimudahkan oleh-Nya” senyum saya tulus. Dan saya pun meninggalkannya tanpa mengambil Tahu Sumendang yang ia tawarkan.
            Ibu itu tersenyum “Terima kasih, Mas! Gusti Allah memudahkannya!” ia berkomat-kamit sambil menatap langit. Ada butiran di ujung kelopak matanya.
            Bagi saya uang sepuluh ribu tak begitu berarti. Namun berbeda bagi mereka yang amat sangat sulit meraih upah dalam sehari. Untuk pedagang seperti ibu tadi, ada yang membeli saja sudah bersyukur.
            “Melon, Mas?”
            Suara itu mengagetkan saya. Saya pun menoleh. Tersenyum. Bagaimana ini? Uang tinggal tiga puluh ribu. Ongkos pulang...
            “Manis, Mas!” ia tersenyum yakin.
            Sebenarnya saya tidak begitu tertarik, di samping itu...
            “Ini buat ibu saja! Saya minta do’a agar skripsi saya dimudahkan oleh-Nya” Ya Allah... bantu hamba! Saya kembali tersenyum.
            Pedagang itu menatap bahagia. Sikap serupa dengan wanita tua tadi, ibu ini mendo’akan saya sedetik setelah selembar uang sepuluh ribu saya berikan.
            Saya pun berlalu. Hanya saja...
            “Hei... ke Mas yang itu! Mas yang pakai baju biru itu baik lho!” teriak seseorang di belakang saya. Mendadak saya terhenti, merasa seruan tadi tertuju pada saya yang berbaju biru. Saya menoleh...
            Apa?
            Beberapa pedagang tua berkerumun di belakang saya.
            Bagaimana ini?
ṧṧṧ
            Allah mendengar do’a dan niat tulus saya. Dengan sisa uang yang saya miliki kemarin, saya membagikannya. Seluruhnya. Dengan niat agar Allah memudahkan perkara ini. Perkara yang sempat menginjak jiwa juang saya, sehingga saya tersungkur perih dalam curamnya jurang putus asa. Namun kini, semuanya sehangat mentari.
            “Ndra, kita telpon Ibu ya?”
            Saya mengangguk sambil tersenyum. Menatap ‘dia’ yang juga tersenyum. Bahagia.
            Saya pun mengerti. Rasa peduli akan memberi sebagian harta untuk orang yang lebih membutuhkan membuahkan kemudahan saya dalam menggapai cita-cita. Ketulusan yang saya genggam, yang Ibu simpan dan yang ‘dia’ berikan, membuat kesempitan yang menghimpit urusan saya menjadi lapang. Allah menilai segala usaha hamba-Nya.
            Dosen pembina tersebut ternyata menitipkan skripsi saya pada seorang mahasiswa yang  berpulang ke Indonesia. Tepat ketika saya kembali dari usaha saya menemui dekan. Mahasiswa Pakistan itu adalah salah satu calon dosen yang akan mengajar pada Universitas di pondok pesantren saya. Seketika saya bersujud syukur pada Sang Investor Kehidupan.
            Mudah sekali Allah membantu hamba-Nya yang kesusahan. Sebagaimana mudahnya Dia membuat soal ujian yang amat sangat rumit. Semuanya tergantung do’a, niat, usaha dan keikhlasan manusia dalam menjalankan ujian tersebut. Allah Maha Mendengar dan Melihat.
            Kala itu, saya dan ‘dia’ pun meraih gelar sarjana yang kami cita-citakan dalam tempat, suasana, detik dan rasa bahagia yang sama.
ṧṧṧ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar